Resume Bedah Koleksi Akbar Buku RSC

Ketika kemerdekaan diraih pada 1945, pemerintah dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan di mana sebagian besar penduduk kekurangan pangan dan berada di bawah garis kemiskinan. Maka hal utama yang perlu segera dicapai adalah peningkatan produktivitas sektor pertanian, utamanya komoditas pangan. Tujuan pembangunan yang terutama di awal kemerdekaan ini adalah mengerjar pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan yang diambil adalah pendekatan pembangunan yang bersifat sentralistik. Hampir semua pembangunan dirancang dan diarahkan dari pusat, daerah tinggal melaksanakan saja.
Hal ini sejalan dengan paradigma umum yang dianut dalam pembangunan di nergara-negara yang baru merdeka yaitu suatu paradigma yang memberikan peran dominan pada negara untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan di semua bidang. Tentu saja, paradigma yang demikian tidak, atau kurang, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, membuat perencanaan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil pembangunan. Lebih jauh, paradigma yang demikian juga menghambat berkembangnya aspirasi masyarakat dan kearifan lokal (local wisdom) dalam proses pembangunan.
Meski demikian, rezim Orde Baru beranggapan bahwa cara yang paling efektif untuk mengejar ketertinggalan dan meningkatkan produktivitas adalah berfokus pada pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ingin dicapai dengan menyerahkan pelaksanaan pembangunan kepada badan-badan pemerintah dan pelaku ekonomi utama, di bawah kendali pemetintah pusat. Prasyarat pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu tentu saja adalalah terciptanya stabilitas politik (stability).
Penerapan strategi umum dan terpusat di semua wilayah negara mengakibatkan kesenjangan yang semakin melebar. Sering kali indikator makro ekonomi yang dicapai cukuo menggembirakan. Tingkat pertumbuhan ekonomi rekatif tinggi dan Produk Domestik Bruto (PDB) juga meningkat dari tahun ke tahun. Pendapatan per kapita, dengan demikian, juga semakin tinggi. Indikator tesebut hanya bersifat agregat di aras nasional di mana hasil-hasil pembangunan kurang dirasakan di wilayah-wilayah pedesaan. Konsep penetesan ke bawah (trickle-down effect) tidak dapat diharapkan untuk mendistribusikan manfaat pembangunan yang terpusat. Bahkan terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) dari wilayah-wilayah pedesaan ke pusat-pusat pertumbuhan.
Kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan masih merupakan masalah pembangunan yang rumit di negara-negara sedang berkembang. Kerumitannya semakin parah tatkala negara maupun pemerintah tidak mampu mengelola dampak ikutannya (derived impact). Di kota umumnya petumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita tiinggi, sementara  Salahdi desa umumnya pertumbuhan ekonomi rendah dan pendapatan per kapita lebih rendah. Kesenjangan kota-desa ini telah lama disadari oleh para perencana pembangunan wilayah dan telah dilakukan berbagai upaya untuk mengatasinya. Berbagai teori dna pendekatan pembangunan wilayah (perkotaan dan pedesaan) telah banyak dikembangkan oleh para pakar.
Dalam hubungan kedua wilayah, pedesaan umumnya berada pada posisi yang lemah. Posisi penduduk desa umumnya masih sebatas penghasil bahan baku, karena pembangunan pertanian belum mampu meningkatkan nilai tambah di pedesaan.
Setelah itu banyak istilah yang dibeirkan untuk pembangunan pertanian dan pedesaan. Salah satunya adalah “pembangunan pedesaan terpadu”. Saking terpadunya, terlalu banyak orang atau lembaga yang terlibat. Semakin terpadu suatu proyek, semakin banyak pula koordinasi yang dilakukan. Sindrom “ember bocor” atau “saluran bocor” sangat potensial terjadi pada proyek-proyek terpadu ini. Uang atau manfaat proyek lebih dulu mengucur pada petani kaya atau kelas menengah sebelum sampai pada sasaran yang sebenarnya, petani miskin.
Perencanaan wilayah menyangkut ke dalam dua aspek utama yaitu perencanaan ruang dan aktivitas di atas ruang tersebut. Yang berkaitan dengan ruang berkembang menjadi perencanaan tata ruang dan yang berkenaan dengan aktivitas berhubungan dengan perencanaan pembangunan dalam aspek ekonomi, social, kelembagaan, dan ekologi.
Perencanaan wilayah berkaitan dengan kajian sistematis atas aspek fisik, sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan untuk mengarahkan pemanfaatannya dengan cara terbaik untuk meningkatkan produktivitas guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Dengan demikian, sasaran perencanaan wilayah adalah efisiensi dan produktivitas, pemerataan dan akseptabilitas masyarakat, serta berkelanjutan. Perencanaan wilayah merupakan penerapan metode ilmiah dalam pembuatan kebijakan public dan upaya untuk mengaitkan pengetahuan ilmiah dan teknis dengan tindakan-tindakan dalam domain publik untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi.
Tujuan perencanaan wilayah adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, berbagai infrastruktur wilayah, fisik, sosial budaya, ekonomi, sumber daya alam, sumber daya manusia, modal, dan teknologi perlu dipadukan melalui suatu perencanaan yang tepat agar pembangunan wilayah berjalan secara berkelanjutan..
Pengembangan ekonomi lokal (PEL) mengacu pada proses dimana pemerintah lokal atau organisasi berbasis masyarakat berusaha menggerakkan dan memelihara aktivitas bisnis dan/atau kesempatan kerja. Tujuan utama PEL adalah merangsang kesempatan kerja lokal pada sektor tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan menggunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam. PEL berorientasi proses, yaitu pengembangan institusi yang baru, industru alternatif, memperbaiki kapasitas tenaga kerja, identifikasi pasar baru, transfer pengetahuan (knowledge), dan memelihara perusahaan dan usaha yang baru.
PEL mengutamakan peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga, pengurangan kemiskina dan pengangguran. Dalam alur berpikir seperti ini, pembangunan ekonomi harus dilaksanakan di tingkat lokal dan penduduk lokal memperoleh manfaat dari pembangunan tersebut.
Peran pemerintah lokal dalam PEL adalah menciptakan kondisi yang baik bagi berkembangnya wirausahawan dan meningkatnya pembangunan lokal. Peran pemerintah lokal bukan membentuk perusahaan baru, tetapi meningkatkan kualitas pelayanan publik. Peran pemerintah lokal adalah menciptakan kondisi bagi bisnis lokal untuk bertahan bahkan memperluas aktivitas mereka serta menarik investor dari luar wilayah. Dengan demikian, untuk menggerakkan PEL perlu dilakukan lima tahapan: (1) pengorganisasian, (2) evaluasi strategi sebelumnya, (3) menyusun rencana strategik untuk pembangunan ekonomi lokal, (4) menciptakan sisten PEL dan mengimplementasikan rencana strategik, (5) monitoring dan evaluasi.
Hasil penelitian Beyer et al. (2003) di Zambia dan Rwanda mengkritisi model pembangunan eksisting dan mengusulkan kerangka pembangunan ekonomi yang mampu membantu membangun dan mengukur kemitraan dan partisipasi. Model pembangunan yang baru didasarkan pada pentingnya melanjutkan pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan sampai ke tingkat lokal, harus merancang strategi yang komprehensif namun tetap lentur yang mencakup kemitraan pemerintah swasta dan partisipasi masyarakat sipil. Inti dari pembangunan lokal adalah kemitraan dan partisipasi. Untuk membangun dan memperkuat kapasitas lokal, strategi pembangunan ekonomi harus memasukkan proses untuk menciptakan keterkaitan antara stakeholders dan suatu rencana untuk meningkatkan produktivitas ekonomi dan diversifikasi utilisasi sumber daya lokal. Strategi yang tepat untuk tujuan ini adalah strategi pengembangan ekonomi lokal (PEL).

Nurul
FIB 2015
Pertanyaan:
– Mengapa pembahasannya mengarah pada pertanian, dan mengapa tidak menuju ke industri pertanian?
– Di daerah saya yakni Ponorogo yang dikenal akan budayanya, akan tetapi dari sisi SDMnya masih kurang di sisi lain banyak pemuda keluar dari wilayah Ponorogo untuk berguru di Perguruan Tinggi luar. Bagaimana cara memaksmilkan potensi tersebut?
Jawab:
– Karena desa atau daerah adalah basisnya pertanian. Dimana Indonesia memiliki potensi yang besar pada pertaniannya dan yang dihasilkan dari bertani merupakan bahan baku yang nantinya akan dijadikan bahan olahan atau manufaktur. Sehingga basis yang digunakan adalah pertanian bukan industri pertanian. Karena industri pertanian merupakan instrumen tambahan bukan instrumen pokoknya.
– Pada dasarnya wilayah Ponorogo sudah dianggap memiliki potensi pada budayanya. Hanya dikarenakan adanya kesenjangan antara desa dan kota. Yang biasanya di wilayah desa masih memiliki kearifan lokal yang tinggi.Dikarenakan tuntutan ekonomi dan pendidikan yang tinggi maka banyak warga di daerah sana memilih untuk keluar daerahnya demi memperbaiki kualitas hidupnya. Sarannya adalah dengan pengembangan dan pengelolaan dengan baik dan pengaplikasian pada sektor-sektor lain yang tidak hanya menenkankan pada satu sektor saja.

Tanya Jawab:
Wulan
FIA 2014
Pertanyaan:
– Bagaimanakah cara memaksimalkan hasil potensi dari limbah buah dan sayuran?
Jawab:
– Para petani masih kurang dalam hal pengelolaan bahan pasca panen atau bahan limbah dari buah dan sayuran dikarenakan mindset pada diri mereka bahwa disini  hanyalah bertani, panen lalu dijual ke pasar. Dimana tidak ada effort yang lebih untuk bagaimana cara mengolah bahan baku tersebut untuk dijadikan bahan olahan yang bernilai jual tinggi dan mampu menaikkan taraf ekonomi mereka. Disinilah letak strategis yang perlu dilakukan pemerintah untuk melakukan pelatihan dasar serta penyuluhan secara berkala terkait pengolahan hasil panen menjadi bahan olahan yang bernilai jual tinggi. Tidak hanya peran pemerintah saja, akan tetapi partisipasi masyarakat dengan adanya pemfasilitasian dari pemerintah harus didukung penuh oleh pihak masyarakat.

 

 

Veröffentlicht in Resume Bedah Koleksi.