Bedah Koleksi Perpustakaan RSC Kamis, 23 Oktober 2014

Jenis koleksi    : e-book

Judul                 : Desentralisasi Tata Kelola Hutan

Penyaji            : Asya Hanif (2012)

Resume            :

Di tengah keprihatinan global terhadap hutan – baik itu deforestasi, perlindungan ekosistem yang kaya spesies ataupun perubahan iklim – upaya masyarakat lokal mempertahankan hutan mereka seringkali gagal atau terabaikan. Padahal, upaya masyarakat lokal bisa secara langsung mempengaruhi hutan maupun ratusan ribu warga yang hidupnya bergantung pada hutan. Berfokus pada Malinau, Sembilan puluh lima persen wilayah Kabupaten Malinau ditetapkan sebagai kawasan hutan negara (Barr dkk, 2001), termasuk 1,03 juta hektar Taman Nasional Kayan Mentarang. Hutan Malinau merupakan hutan dipterocarp utuh terbesar yang tersisa di Asia Tenggara dan sangat kaya dengan keaneka ragaman hayati. Sekitar 60 persen dari seluruh famili dan 36 persen genus pohon di Kalimantan ditemukan di wilayah ini (Machfudh, 2002).Kalimantan telah mengalami transformasi dahsyat selama generasi terakhir (Padoch dan Peluso, 1996).

Pembalakan, yang legal maupun ilegal, meningkat tajam. Antara tahun 1980 dan 2003, kawasan hutan lindung di dataran rendah Kalimantan menyusut lebih dari 56 persen, atau 29.000 kilometer persegi (Curran dkk, 2004). Hampir separuh dari kawasan hutan ditetapkan sebagai hutan produksi untuk penebangan komersial sejak tahun 1970-an. Pada awal masa itu, pembalakan terjadi di wilayah yang mudah dijangkau di sepanjang sungai yang dapat dilalui. Dengan boom kayu di akhir 1970-an, konsesi kayu juga diberikan di wilayah Malinau yang lebih jauh di pedalaman. Dalam kurun waktu itu, jumlah HPH (Hak Pengusahaan Hutan) selalu bervariasi dan pada tahun 1999 ada 11 HPH di Malinau dengan areal konsesi meliputi 1,5 juta hektar (Barr dkk, 2001). Namun, pada tahun 2001, era konsesi skala besar kelihatannya telah usai. Otonomi daerah berdasarkan UU No 22 tahun 1999 diartikan sebagai penguasaan kabupaten atas sumberdaya alam di wilayah administrasinya. Seperti diuraikan di Bagian II, dimulailah boom kayu baru melalui konsesi skala kecil IPPK dan berlangsung sampai tahun 2002. Hutan menjadi sumber pendapatan penting bagi kabupaten baru ini. Produksi meningkat 10 persen per tahun dalam waktu tiga tahun (1999 sampai 2002). Pada tahun 2002 telah dihasilkan 651 ribu meter kubik kayu, menyumbang hampir 70% ekonomi lokal walau hanya melibatkan 3 persen dari penduduk lokal (Widyastuti, 2003). Yang menarik adalah, pada tahun itu angka statistik resmi menyebutkan produksi kayu 570 ribu meter kubik (Bappeda dan BPS, 2005).

 

Veröffentlicht in Resume Bedah Koleksi.