Di era modern sekarang ini, krisis kepemimpinan bukan hal yang baru lagi. Menyalahgunakan wewenang demi mencapai tujuan pribadi dan kelompok merupakan serangkaian kasus yang sering ditemui di Indonesia. Hukum dan Peraturan seolah-olah tunduk kepada penguasa. Inilah wacana penting bagi sivitas akademika Universitas Brawijaya (UB) sebagai calon pemimpin di masa depan. “Pendidikan memang salah satu modal utama dalam meraih kepemimpinan,” ujar Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, MS disela-sela workshop bertajuk “Kepemimpinan dalam Era Reformasi Birokrasi”, Senin (23/3). Workshop digelar di Aula Gedung A lantai 4 Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UB. Namun menurut Djarot yang mendampingi Basuki Tjahaja Purnama “Ahok” sejak Desember 2014, ilmu harus diselaraskan dengan pikiran dan hati. Sehingga, ketika seseorang menjadi pemimpin, ilmu tersebut tidak akan membutakan mata dan hatinya.
Kepada mahasiswa, Djarot menyampaikan, “Seorang pemimpin tidak cukup hanya dekat dengan masyarakatnya tanpa mengajarkan hal-hal baik”. Karena itulah, perlunya pemimpin menjadi contoh keteladanan yang mengayomi, melayani dan mengajarkan keilmuan ditengah-tengah masyarakat.
Menurutnya, krisis kepemimpinan saat ini berakar pada ambisi, kepentingan kekuasaan dan uang. Ketiga hal inilah yang akhirnya menjadi landasan politik untuk mengatur, merubah, bahkan memanipulasi kehidupan sosial masyarakat dengan dalih demokrasi. “Akhirnya, lambat laun hal tersebut menjadi cerminan budaya pemimpin yang tidak memiliki kredibilitas abdi negara. Dan disinilah akhirnya, kepercayaan masyarakat kepada pemimpin tersebut semakin pudar. Tentu imbasnya, rasa nasionalisme pada diri seseorang-pun tidak lagi memiliki arti,” ungkap lulusan FIA-UB 1986.
Selaras dengan falsafah kuno, menurutnya, kesederhanaan adalah bentuk dari kebijaksanaan. Hal inilah yang ia terapkan saat memimpin. Ketika menjabat Wali kota Blitar selama dua periode berturut-turut, Djarot cenderung mengayomi dengan menata pedagang kaki lima ketimbang harus membangun kota metropolis. “Saya ingin membuka kesempatan bagi pedagang kecil untuk memajukan roda perekonomian di Kota Blitar,” tambahnya.
Dengan kebijakan tersebut, pedagang kaki lima yang dulunya kumuh di kompleks alun-alun kini bisa tertata rapi. Rencana yang ia terapkan berhasil mendongkrak perekonomian tanpa harus menghadirkan supermarket atau mall layaknya di kota-kota besar.
Ia berharap generasi muda, khususnya sivitas akademika UB dapat menerapkan hal-hal tersebut. Karena menurutnya, hal yang berakar dari kesederhanaan terkadang tidak sesuai dengan gaya hidup akademisi saat ini. “Di sinilah kepekaan dalam mengembangkan kemampuan softskill diperlukan,” pungkas Djarot. [indra/Humas UB/ALA]