Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) kembali menyelenggarakan seminar internasional. Kali ini, seminar yang bertajuk “Public Administration in Gender Perspective (Comparative Experience Among Indonesia, Malaysia, and Thailand)” itu menghadirkan empat pemateri, yakni Dr. Fadhillah Amin, M.AP, Ph.D (Universitas Brawijaya), Dr. Nur Syakiran Akmal Ismail (Universiti Utara Malaysia), Dr. Zawiyah Mohd Zain (Universiti Utara Malaysia), dan Noppawan Phuengpha, M.PA (Burapa University, Thailand). Kegiatan itu dipusatkan di Aula Gedung A FIA UB Lantai 4, Senin (12/9).
Dalam pembukaan yang diutarakan oleh Dekan FIA UB Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS., disampaikan bahwa Seminar Internasional yang dilaksanakan tidak hanya terbatas pada penyampaian materi dari tiap-tiap pemateri, lebih dari itu, seminar kali ini merupakan ajang berbagi pengalaman dalam penerapan Kebijakan Administrasi Publik pada sudut pandang gender dari masing-masing negara (Indonesia, Malaysia, dan Thailand). “Dari seminar ini saya berharap kita bisa memeroleh wawasan yang lebih luas tentang kebijakan publik berbasis gender di tiga negara besar ASEAN,” ujar Dekan.
Salah satu pemateri, Dr. Zawiyah Mohd Zain, memaparkan mengenai ketidakpatuhan penduduk terhadap kebijakan publik atau legislatif yang terjadi di Malaysia sejak era Mahathir Mohamad hingga era Najib Razak. Menurut Zawiyah, sebagai tindak penolakan atas kebijakan publik atau legislatif tersebut, metode yang dipakai oleh masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya adalah dengan melakukan demonstrasi di jalan (street demonstration). “Kelompok pro-demokrasi yang biasa melakukan hal tersebut untuk menuntut perubahan pada pemerintah, mengenai isu terkait politik dan administratif,” ujar Zawiyah.
Pada pemaparan selanjutnya, Dr. Nur Syakiran Akmal Ismail mengulas tentang gender mainstreaming sebagai maksud mewujudkan kesetaraan bagi wanita dan pria dalam setiap tindakan perencanaan, termasuk perundang-undangan, kebijakan dan program, di seluruh area dan seluruh tingkatan. Studi menunjukkan, gender mainstreaming ini telah diterapkan pada organisasi, meskipun keberadaannya masih dalam level yang lunak (rendah). Hal ini terjadi karena kesadaran masyarakat mengenai kesetaraan gender masih rendah, sehingga memengaruhi efektivitas proses gender mainstreaming. Oleh karena itu, pada sektor publik tidak menaruh banyak perhatian pada isu gender dalam organisasinya, serta tidak menjadikannya sebagai agenda organisasi. Pada akhirnya, agenda tersebut tidak muncul sebagai perhatian pemerintah secara keseluruhan untuk meningkatkan perhatian mengenai isu gender untuk mencapai kesetaraan gender.