Segala permasalahan memilukan yang terkait dengan TKI kita di luar negeri tidak akan terjadi bila kita bisa merubah pola pikir lama yang justru melemahkan kita sendiri. Pernyataan itu diungkapkan oleh Hermono, Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia, ketika menghadiri Focus Group Discussion tentang Manajemen Ketenagakerjaan RI, Jumat (5/12). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Jurusan Administrasi Publik FIA UB tersebut berlangsung di Ruang Seminar Gedung B FIA UB Lantai 2 dan dihadiri oleh dosen, mahasiswa, dan perwakilan lembaga-lembaga pengelola tenaga kerja.
Hermono mengungkapkan bahwa semangat “Revolusi Mental” yang digagas oleh Presiden Joko Widodo harus bisa merubah pola pikir pengelolaan tenaga kerja dari “conventional wisdom” menuju “new paradigm”. Pola pikir lama yang melemahkan kita adalah pemikiran bahwa pengiriman tenaga kerja ke luar negeri hanya semata berdasarkan motif ekonomi, seperti peningkatan devisa dan mengurangi pengangguran. Sementara itu, pola pikir baru yang perlu dikembangkan adalah pengiriman TKI sebagai sarana peningkatan kualitas SDM, perlindungan harkat dan martabat manusia, serta sebagai alat diplomasi negara. “Pola pikir lama akan membuat kita selalu merasa membutuhkan negara lain, sehingga posisi kita menjadi lemah,” tandasnya.
Lebih lanjut, Hermono mengungkapkan bahwa tenaga kerja Indonesia yang berada di Malaysia saat ini berjumlah sekitar 3 juta orang. Mereka tersebar di berbagai bidang pembangunan Malaysia, sehingga sebenarnya Malaysia sangat membutuhkan kita. Akan tetapi, pola pikir lama itulah yang membuat kita tetap lemah seperti sekarang. “Hal ini diperparah dengan adanya UU No. 39 tahun 2004 yang lebih pro pada penempatan yang besar perputaran uangnya dan mengabaikan unsur perlindungan terhadap mereka,” ujarnya. Ia berharap RUU tentang ketenagakerjaan yang sedang digodok DPR bisa merubah pola pikir ini.
Dekan FIA UB Prof. Dr. Bambang Supriyono dalam sambutannya meminta Hermono untuk menjelaskan tentang peranan reform agents dalam ketenagakerjaan dan bagaimana perbandingan perannya di negara maju dan berkembang. Selain itu, Bambang berharap dengan adanya pemaparan dari Hermono, mahasiswa dapat melihat secara obyektif tentang permasalahan TKI ini. “Selama ini yang di-blow up hanya konfliknya saja, padahal sisi harmonisasinya juga banyak mengingat dua negara ini sama-sama Melayu dan Muslim,” ujar profesor yang ramah ini. (ALA/FIA)