Resensi : Revolusi Mental: Dalam Institusi, Birokrasi dan Korporasi
Revolusi Mental: Dalam Institusi, Birokrasi dan Korporasi
Jansen Sinamo
2014, Jakarta, Institut Darma Mahardika
Tidak hanya sistemnya saja yang diubah tapi manusianya juga. Bagaimana melakukan perubahan demi membasmi praktik korupsi? Tentunya tidak semudah yang kita kira. Sesungguhnya konsep Tri Sakti Bung Karno masih memiliki relevansi hingga kini. Pidatonya tahun 1963 menyebutkan tiga pilar yaitu Indonesia berdaulat secara politik, Indonesia mandiri secara ekonomi dan Indonesia berkepribadian secara sosial dan budaya. Hal ini yang tentu akan masih terus relevan hingga saat ini.
Kebijakan ekonomi liberal yang lebih mengutamakan pasar menjadikan Indonesia terlalu bergantung pada modal asing, bahkan untuk pemenuhan kebutuhan bahan pokok pun kita harus selalu impor. Revolusi mental seharusnya dimulai dari diri kita sendiri, dari lingkungan keluarga, tempat tinggal, lingkungan kerja serta meluas pada lingkungan dan negara.
Warisan terburuk dari kolonialisme bukan pada kekayaan yang dirampas, penderitaan yang ditimbulkan, ataupun nyawa yang hilang, tapi nilai-nilai koruptif, penindasan dan perbudakan yang terpatri pada mental bangsa ini amat sulit dilepas. Bung Karno menekankan program nation and character building. Menurut pandangan beliau Indonesia adalah bangsa besar tapi seringkali memberikan nilai terlalu rendah pada bangsanya sendiri alias bermental kecil. Bangsa ini masih belum terbebas dari mentalitas kaum terjajah yang sering mengidap perasaan rendah diri (minder wardigheids complex). Padahal harusnya bangsa ini berani mandiri dan menghargai diri sendiri.
Perilaku manusia adalah fungsi dari karakter personal dan budaya (karakter kolektif). Adapun pendidikan sebagai proses belajar memanusia berfungsi memfasilitasi pengembangan karakter personal dan kebudayaan yang baik, benar dan indah sebagai wahana pembentukan bangsa beradab. Itulah landasan gagasan nation and character building. Mentalitas bangsa ini yang memprihatinkan. Mental yang belum berani mandiri. Lebih suka ikut-ikutan, mudah menyerah. Pelanggaran lalu lintas, ketidaksantunan berlalu lintas. Mental belum mandiri dan belum berani berdikari.
Untuk merealisasikan visi trisakti dibutuhkan dukungan sumberdaya material, keterampilan dan manajemen, dan yang paling penting kesiapan mental. Keduanya menyadari bahwa hambatan utama ialah hambatan mental. Secara umum, bangsa Indonesia mengalami kerentanan dalam mentalitas berdikari, berdaulat, berkepribadian, dengan beragam implikasi destruktif bagi perkembangan bangsa.
Cultural resilience atau daya tahan secara budaya bangsa kita dalam menghadapi penindasan, kemiskinan dan bahkan penghinaan dalam berbagai wujud, terbukti tinggi dan teguh dalam melewati abad-badan penjajahan dan tahun-tahun awal kemerdekaan, tetapi moral resilience atau daya tahan secara moral dalam menghadapi kemakmuran dan kekayaan terbukti amat sangat rendah dan labil. Pada titik ekstrimnya, kita ternyata tahan miskin dan kuat menderita, tetapi tidak tahan kaya dan sulit mengelola kemerdekaan (hlm.62). Kita lebih suka hidup menderita, dan sulit menahan diri ketika uang dalam genggaman.
Hidup adalah tantangan. Jangan dengarkan omongan orang. Yang terpenting adalah kerja, kerja dan kerja. Kerja akan menghasilkan sesuatu, sementara omongan hanya menghasilkan alasan. – Joko Widodo
Konsep besar presiden itu seperti hendak meluruskan lirik lagu kebangsaan, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya,” yang dalam kenyataannya telah terjungkir balik. Bangsa ini sangat mendahulukan badani (materialitas). Uang, kekuasaan dan benda-benda begitu diutamakan sehingga mengalahkan keadilan, kebenaran, kepatutan, keberadaban dan keselamatan (hlm.72). Ketika hati nurani tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, maka religiulitas semakin memudar. Pada akhirnya kita pun lupa berdoa.
Mengapa doa tidak berefek bagi kebaikan moral bangsa? Dan mengapa doa kita seakan mandul? Hal ini karena doa kita terpisah dari masalah-masalah etika, sosial dan moral yang dihadapi bangsa. Doa melulu menjadi praktik formal-ritual yang tidak bersentuhan dengan permasalahan rakyat. Doa hanya menjadi kesalehan steril terhadap masalah sosial (hlm.85). Revolusi mental itu kiranya akan makin efektik, jika disertai revolusi doa. Revolusi doa itu kiranya perlu membangunkan kesadaran moral, sosial dan etika dalam doa yang dihayati warga negara (hlm.86). Doa inilah yang akan menuntun kita pada kebenaran.
Revolusi mental adalah cara hidup melawan arus, meski sukar tetapi menumbuhkan harapan baru. Kesukaran adalah kesempatan untuk mengembangkan sikap tegar dan berani untuk bertumbuh menjadi Indonesia hebat bermartabat. John Hagee dalam bukunya The Seven Secrets menulis, “Jika apa yang sedang Anda kerjakan tidak menimbulkan perlawanan, maka apa yang sedang Anda kerjakan itu sesungguhnya tidak berharga.” (hlm.88) Perlawanan batin yang terjadi itu akan menciptakan sebuah revolusi. Revolusi mental yang dapat dimulai dengan merevolusi hati setiap manusia Indonesia, yakini dengan membangun harga diri, membangkitkan jiwa pemenang, dan mengutamakan totalitas dalam bekerja (hlm.88). Kita perlu percaya diri untuk menjadi pemenang.
Seumpama bis yang menempuh perjalanan jauh, pemimpin bertindak sebagai pengemudi harus memilih siapa yang akan diajak dan siapa yang harus keluar dari bis. Tak jarang orang yang sudah berada di dalam bis dengan terpaksa diturunkan ditengah jalan, atau sebaliknya, pengemudi menaikkan penumpang baru. Semuanya dilakukan agar bis dapat sampai di tujuan. First Who, Then What setidaknya begitu teori yang dikemukakan oleh Jim Collins dalam karya terbaiknya From Good to Great.
Kondisi ideal tersebut mungkin bisa diterapkan pada organisasi privat yang berorientasi profit. Namun sangat berbeda jika Anda berada di organisasi milik pemerintah yang dibangun dengan maksud melayani masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seseorang mendapatkan kepercayaan menjadi pemimpin tetapi tidak kesempatan untuk memilih siapa orang-orang yang akan bekerjasama sebagai anggota tim yang solid.
Anda memimpin sebuah organisasi dan harus menerima semua orang yang ada di dalamnya dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka. Anda sadar sepenuhnya bahwa Anda tidak mungkin mencapai visi organisasi yang sudah dicanangkan dengan orang-orang yang ada. Anda tidak bisa mengeluarkan mereka dan menggantikannya dengan orang-orang yang lebih hebat. Satu-satunya cara adalah mengubah orang-orang yang ada tersebut menjadi orang-orang hebat seperti yang Anda butuhkan. Maka Anda harus melakukan revolusi mental (hlm.139-140).
Dibutuhkan kedewasaan emosi untuk merevolusi mental yang ada. Saya masih ingat di awal tahun ini ketika Jokowi berujar pada rakyatnya, “Jangan sampai yang tiap hari yang diurus duit, ketemu orang lagi yang diurus hal-hal material melulu. Mobilmu baru ndak? Rumahmu baru ndak? Masalah kok yang diurus itu-itu saja. Harus seimbang, yang religius ada, yang masalah budaya ada. Jadi keseimbangan itu perlu sehingga manusia yang berada di kota itu berisi. Berisi tidak hanya kosong masalah ekonomi, ekonomi, ekonomi, ekonomi, ekonomi tiap hari seperti itu. Itu yang saya kira yang ingin kita buat.”
Lihatlah bagaimana Jokowi keluar masuk rumah sakit untuk mempromosikan kartu Jakarta Sehat. Berapa penolakan yang ia dapat? Berapa cemoohan yang ia alami? Tidak sedikit! Lihat juga perlawanan dari pengusaha ketika Jokowi memperjuangkan UMR Jakarta. Ia dimarahi dan dicaci oleh pengusaha-pengusaha yang merasa keuntungannya semakin berkurang walau sudah sangat kaya.
Gaya kerja blusukan, turun ke pasar menemui rakyatnya, masuk ke gorong-gorong ibu kota, mengunjungi rakyatnya dan berempati pada mereka dikira sebagai pencitraan belaka. Ia selalu tenang menghadapi tantangan-tantangan itu. Ia maju terus menuntaskan misinya membahagiakan rakyatnya. Kedewasaan emosi Jokowi ketika mendapatkan perlawanan terhadap ketulusannya bekerja untuk rakyat menjadi revolusi itu sendiri, sekaligus teman untuk revolusi mental bangsa. Jadi, di sisi lain kedewasaan emosi merupakan jiwa dari revolusi mental itu sendiri.
Revolusi mental adalah bentuk kristalisasi dari keprihatinan dan kepedulian seorang Jokowi terhadap nasib bangsa ini. Jokowi tidak sendirian. Banyak rakyat merindukan revolusi ini agar bangsa kita tidak semakin terpuruk karena ulah pemimpin-pemimpin negeri ini maupun sebagian rakyat yang rindu kembali pada jati diri bangsa dengan karakter budaya timurnya. Sekarang adalah momentum emas untuk sebuah revolusi mental dengan mendewasakan emosi bangsa kita. Semoga (hlm.99-100).
Revolusi yang terjadi disini ialah revolusi mental dan kecerdasan emosi, revolusi gaya hidup, revolusi mental di berbagai sektor-sektor bisnis, revolusi hukum, revolusi mental wartawan, revolusi mental keberagamaan dan berbagai revolusi lainnya. Setiap tulisan yang berbeda-beda tetapi membahas satu hal yang sama, yakni mentalitas dan moralitas. Tulisan yang beragam ini sebagai awal revolusi menuju perubahan mental kita bersama.
Oleh Aldi Rahman Untoro
Courtesy to Jansen Sinamo