Kepimpinan, Keberanian dan Perubahan, Let’s Change!
Hanya dua tahun berkuasa (1999-2001) Presiden Abdurrahman Wahid melakukan 10 perubahan. Sementara hampir 10 tahun memimpin (2004-2014) Presiden SBY baru menggulirkan dua perubahan. Setiap pemimpin punya janji dan cara beragam dalam memenuhi janjinya. Namun pemimpin yang hebat tidak sekadar lakukan perubahan, tetapi juga mengelola dengan manajemen perubahan. Yang dimaksud ialah perubahan mendasar, mengubah cara dan kebiasaan.
Saat jalan terasa enak, itu pertanda kita sedang menurun dan, sebaliknya, saat terasa berat, itu pertanda kita sedang mendaki ke atas. Ketika ada masalah dan kesulitan, sejatinya hal tersebut merupakan tanda untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi.
Perubahan belum tentu menjadikan sesuatu lebih baik, tetapi tanpa perubahan, maka tak ada kemajuan, tak ada pembaruan. Bila tak ada kemajuan, maka Anda akan tetap berada di tempat, yang berarti sebuah kemunduran.
Bahasa bisa saja diperdebatkan. Kata-kata bisa diselubungkan. Janji-janji perubahan mudah diucapkan dan kekuasaan bisa dipertukarkan. Namun, perubahan tidak bisa disamar-samarkan. Kalimat yang menarik ini menyadarkan kita bahwa perubahan sesuatu yang mendesak dan jelas harus dilakukan.
Lord Erlington mengatakan, “Pemimpin yang tak melakukan kesalahan adalah pemimpin yang tak melakukan apa-apa.” Karena itu, di era perubahan ini banyak pemimpin dan birokrat yang tak melakukan apa-apa. Serapan dana APBN rendah, proyek yang dikerjakan yang gampang-gampang saja dan rutin. Tak ada yang baru, apalagi terobosan (breakthrough). Hasilnya menjadi bagus: posisi aman, jabatan terus diperpanjang atasan. Sebaliknya, mereka yang melakukan breakthrough menghadapi risiko tinggi, sebab perubahan sering kali dimulai dengan penghancuran belenggu kekuasaan lama. Risiko mengalami benturan, perlawanan, dan kemungkinan “salah” atau dipersalahkan sangat besar. Kalau semua pemimpin yang salah mengambil keputusan diidentikan dengan penjahat, maka tersenyumlah semua penjahat.
Ketika Presiden SBY marah saat berpidato, lantaran pendengarnya tertidur. Sebenarnya pakar komunikasi dunia McGregor pernah mengingatkan (1970) manusia adalah makhluk yang malas. Kita malas mendengarkan jika yang bicara tidak benar-benar mampu membujuk (persuasif). Maka McGregor tidak menyalahkan pendengar jika mereka tertidur, sebab secara alamiah manusia benar-benar malas mendengarkan.
Untuk mengetahui kebohongan seseorang bukan dengan rasa curiga melainkan dengan membiarkannya terbuka seiring berjalannya waktu. Arthur Schopenhauer pernah berkata (1788 – 1860) jika mencurigai seseorang berbohong, berpretensilah seakan-akan mempercayainya. Kebohongan akan terungkap dengan sendirinya dan topeng akan terbuka
Kumpulan tulisan Rhenald Kasali yang pernah dimuat di Kompas. Beragam topik dibahas mulai dari pendidikan, pariwisata, ekonomi, birokrasi, manajemen, kepemimpinan, semuanya memiliki esensi yang sama, mendorong untuk perubahan. Tulisan yang akan mencerahkan pemikiran Anda, membuka wawasan dan menguncang cakrawala berpikir. Buku yang wajib dibaca untuk mereka yang suka berpikir kritis.
Deskripsi Bibliografis:https://goo.gl/RjnvQJ
Oleh: Aldi Rahman Untoro
Courtesy to: Rhenald Kasali