Resensi Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah
Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah
Prof. Dr. Boediono
2016, Mizan, Bandung
“Referensi penting bagi setiap orang yang ingin memahami perjalanan perekonomian bangsa. Tajam karena didasari pengalaman konkret merencanakan dan mengelola negara. Mendalam karena latar belakang penulis sebagai akademisi yang dikenal cermat dan rasional.” Najwa Shihab, Jurnalis Televisi.
Prof. Dr. Boediono, guru besar Universitas Gadjah Mada. Tiga puluh tahun berkarya di berbagai bidang pemerintahan, dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Presiden Indonesia. Kini setelah pensiun, waktunya digunakan untuk ceramah, berlatih kebugaran dan berenang.
Buku ini terdiri dari dua bagian, yaitu masa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Pada mulanya VOC dan negara-negara Eropa datang ke Nusantara untuk berdagang. Mereka begitu menyukai rempah-rempah. Tapi rasa tamak menjadikan mereka ingin menjarah dan merampas hasil-hasil produksi. Dengan menguasai daerah produksi, hal ini akan memberikan keuntungan luar biasa. Apalagi dalam pembagian manfaat perdagangan (gains from trade) sangat dipengaruhi oleh kekuatan tawar (bargaining power) masing-masing pihak. VOC unggul mutlak karena memiliki kekuatan dari sisi kekuasaan ekonomi maupun politik. Hal itu membuat manfaat pertumbuhan ekonomi dengan nyaman dinikmati oleh VOC, lalu para penguasa lokal dan jajarannya, sedangkan mayoritas penduduk hidup dalam keadaan memprihatinkan.
Ekonomi dan politik ialah dua sisi dari satu mata uang. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Biasanya politik yang mendikte dan mengendalikan ekonomi. Pandangan dan sasaran politik akan menentukan sasaran dan corak kebijakan ekonomi yang digunakan untuk meraih sasaran tersebut. Tema ini berulang dari masa ke masa. Dari masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga revolusi yang dikonfrontasi maupun diganggu oleh Belanda.
Ekonomi liberal memang hasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan meningkatkan pendapatan mayoritas penduduk Hindia Belanda. Tetapi pembagian antar kelompok sosial tidak merata. Pendapat rata-rata semua kelompok sosial meningkat, tetapi ketimpangan meningkat pula.
Hampir seluruh sasaran politik ditentukan untuk dicapai tanpa adanya perhitungan yang matang mengenai biaya ekonominya. Karena sasaran politik itu memiliki bobot emosional yang besar di benak orang sehingga cenderung menumpulkan semangat untuk melakukan cost-benefit objektif. Tapi kenyataannya memang tidak mudah menghitung biaya ekonomi yang tepat terkait suatu sasaran politik.
Keadaan ekonomi bisa menuntut perubahan politik. Masalah memperkirakan biaya ekonomi dari sebuah tujuan politik perlu direnungkan dengan jernih karena akan terus berulang terjadi pada perjalanan bangsa ini. Barangkali perlu untuk belajar dari sejarah, agar masalah ini tidak berulang dan bangsa ini semakin bijak, cerdas dalam mengambil keputusan.
Tata pemerintahan yang baik sebagai landasan kemajuan suatu sistem kenegaraan. Suatu negara bisa hancur akibat mengabaikan tata pemerintahan yang baik atau membiarkan tata pemerintahan yang ada mengalami pembusukan. Sebab enggan berubah dan membiarkan pengaruh buruk terus merajalela. VOC bangkrut disebabkan para pemegang sahamnya berpikir jangka pendek, inginkan keuntungan besar sesaat, serta menutup mata pada praktik-praktik korupsi yang terjadi. Kemudian VOC diambil alih oleh pemerintahan Belanda yang pandai melihat jangka panjang.
Pada tahun 1996 Indonesia mengalami kondisi ekonomi, sosial dan politik yang berat. Setelah terjadinya G-30-S, kehidupan sosial dan politik tanah air diliputi suasana konflik, guncangan trauma mendalam, ketidakpastian politik, serta roda pemerintahan yang mandek. Bahkan perekonomian kala itu berada pada puncak hiperinflasi dan stagnasi. Pemerintah bekerja cepat dengan menetapkan prioritas memerangi inflasi dan berusaha menggerakkan kembali roda perekonomian.
Dalam pelaksanaannya, terdapat berbagai tantangan seperti penghematan anggaran, aparat birokrasi yang mandek, konflik antara sasaran menghentikan inflasi dan menggerakkan roda ekonomi. Namun karena adanya komitmen politik dan dedikasi, kurun waktu 2 tahun program stabilisasi mencapai sasarannya.
Setelah stabilitas ekonomi membaik dan roda ekonomi berputar kembali, fokus pemerintah bergeser pada masalah-masalah ekonomi dan pembangunan jangka panjang. Dengan melaksanakan pembangunan yang direncanakan. Tahun 1970-an pembangunan bukan hanya melalui kebijakan tapi juga dana anggaran yang terus meningkat akibat minyak berlimpah.
Sinergi politik dan ekonomi menjadikan program pembangunan jangka panjang dapat terlaksana. Pertumbuhan ekonomi tinggi dapat dicapai dengan industri dan pertanian pangan sebagai poros penggerak. Tetapi bidang lain seperti kesejahteraan rakyat juga menunjukkan kemajuan yang mengesankan.
Menapaki tahun 1980-an harga minyak berbalik arah. Strategi pembangunan semasa kejayaan minyak tak dapat dimungkiri lagi dan harus berubah. Pemerintah mencari poros penggerak alternatif ekonomi selain dana minyak dan anggaran negara agar ekonomi senantiasa bertumbuh.
Ketergantungan APBN dan transaksi berjalan pada minyak bumi mulai berkurang, sumber pertumbuhan ekonomi bergeser pada ekspor non-migas, dan sumber pembiayaan investasi bergerser pada sumber-sumber di luar anggaran pemerintah (pebankan, pasar modal, serta PMA dan PMDN).
Krisis Keuangan Asia membawa musibah besar bagi Indonesia yang selama tiga dasawarsa sebelumnya mengalami pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan yang mengesankan. Dampak krisis tidak hanya sebatas pada sektor keuangan, tapi merambat hingga ke sektor riil menyebabkan PHK dan kebangkrutan massal. Tidak hanya itu, dibarengi dengan bencana alam, kekeringan, mengakibatkan harga beras melipat hampir 3 kali selama 1998. Hal itu memicu gejolak sosial dan politik.
Ekonomi Indonesia digambarkan dengan begitu jelas dan baik sekali. Sejarah ekonomi bangsa yang krusial ini, setidaknya dapat diketahui bagaimana Indonesia mulai berjalan hingga kini. Dan ekonomi politik seperti dua hal yang saling berhubungan. Belajar dari sejarah memungkinkan agar kesalahan sama tidak berulang. Pemerintah seharusnya bukan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, lalu mengabaikan kesejahteraan rakyat. Tetapi keduanya harus berjalan beriringan.
Oleh Aldi Rahman Untoro
Courtesy to Prof. Dr. Boediono
Bibliografis http://fia.ub.ac.id/lama/katalog/index.php…