resensi buku “Perpustakaan Untuk Rakyat : Dialog Anak dan Bapak” karya Ratih Rahmawati (almh.) dan Blasius Sudarsono (Bapak Dokumentasi Indonesia)
Apa itu perpustakaan? Apa beda dan persamaannya dengan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) atau nama lainnya? Apakah tempat membaca dan meminjam buku sejenis dengan taman bacaan? Apakah mereka (masyarakat) juga sudah menjadikan perpustakaan sebagai bagian dari hidup kesehariannya? Apakah masyarakat paham mengenai perpustakaan? Apakah masyarakat umum sudah mengenal kata perpustakaan seperti mereka mengenal kata restoran? Mengapa restoran? Sebab restoran dikenal masyarakat umum sebagai tempat makan. Sebenarnya perpustakaan dapat disebut sebagai tempat makan. Tentu bukan tempat makan untuk mengisi perut dan menikmati rasa dimulut, akan tetapi tempat makan untuk menikmati rasa dan mengisi rohani serta intelektual. Apakah mereka mengunjungi perpustakaan sebagaimana mereka mengunjungi restoran? Mereka lebih memilih mengisi perut daripada mengisi pikiran dengan ilmu. Bagaimana perpustakaan dapat menyakinkan masyarakat untuk mencintai perpustakaan? Sebelum upaya membuat masyarakat mencintai perpustakaan, tentu pustakawanlah yang harus lebih dahulu mencintai perpustakaan.
Ada jurang pemisah yang sengaja dibuat antara perpustakaan dan TBM. Dimana TBM tidak mau menyebut dirinya sebagai perpustakaan. Dan perpustakaan enggan menyebut TBM sebagai perpustakaan. Nama perpustakaan untuk rakyat diadaptasi dari buku Sultan Hamengku Buwono IX berjudul, “Tahta untuk Rakyat”. Di Yogyakarta penuh dengan berbagai aktivitas masyarakat dalam membangun dan mengembangkan TBM. Pemerintah membangun perpustakaan umum sebagai upaya dalam menjaga agar masyarakat yang sudah melek huruf tetap terjamin aksesnya pada bahan bacaan. Meski terjadi kompetisi antara TBM dan perpustakaan umum. Di satu sisi pendapat dari pihak TBM bahwa perpustakaan itu terlalu kaku dan diskriminatif, sementara perpustakaan tidak menganggap bahwa TBM adalah perpustakaan. Sebenarnya tujuan TBM dan perpustakaan adalah sama, yaitu untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat.
“Membaca merupakan salah satu fungsi tertinggi otak manusia, membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup dan dapat dikatakan bahwa semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca.” Glenn Doman (1986)
D.A. Rinkes (1918 – 1926) merupakan pimpinan Balai Pustaka saat itu. Ambisinya sesuai dengan pemerintah kolonial yaitu memperluas pengaruh kekuasaan penjajah terhadap orang pribumi. Salah satunya melalui bacaan yang tersebar dalam masyarakat melalui taman pustaka yang dikembangkannya. Tak kurang dari 2500 taman pustaka dibangun. Perkembangan taman pustaka dimulai dari ide sederhana Rinkes, membangun taman pustaka di setiap sekolah yang baru berdiri, baik di desa maupun di kota. Gagasan tersebut berdampak terhadap luasnya penyebaran pengaruh barat tehadap masyarakat Indonesia melalui bacaan seperti novel terjemahan, terbitan berseri, almanak, ensiklopedia dan bacaan lainnya. Langkah Rinkes menanamkan nilai dan budaya barat melalui bacaan, sebenarnya disadari bahwa literasi informasi yang baik merupakan potensi yang dapat menghancurkan pemerintahan kolonial, sebab masyarakat lebih cerdas dan terbuka wawasannya. Tetapi Rinkes tetap menjalankan ambisinya. Walau akhirnya Belanda harus takluk dari Jepang beberapa saat kemudian.
Rencana TBM milik pemerintah dibuat sebagai proyek jangka pendek, tidak pernah dibuat menjadi pendukung program jangka panjang. Koleksinya difokuskan pada buku Pancasila, doktrin pemerintah dan propaganda politik dari Orde Baru, yang membuat TBM tidak lagi diminati masyarakat setempat dan tidak mendapat dukungan dari mereka. Dalam makalah Community Libraries in Indonesian: A Survey of Government – Supported and Independent Reading Gardens, Stian Haklev mengungkapkan bahwa taman bacaaan masyarakat pada dasarnya dibangun oleh tiga penggagas:
a.) taman bacaan yang dibangun oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah,
b.) taman bacaan yang dibangun oleh donatur, misalnya dalam program Corporate Sosial Responsibility (CSR) perusahaan,
c.) taman bacaan yang dibangun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun komunitas masyarakat setempat.
Terlepas dari siapa penggagas berkembangnya taman bacaan masyarakat, pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, memupuk kegemaran membaca.
Idealnya perpustakaan dan TBM dapat bersinergi untuk bersama-sama mengembangkan budaya membaca dalam masyarakat, meskipun berasal dari tatanan birokrasi yang berbeda. Kenyataannya perpustakaan umum berada di bawah naungan Perpustakaan Nasional sedangkan TBM berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut salah seorang penggiat TBM di Yogyakarta, baik perpustakaan maupun TBM mempunyai akar permasalahan pada kapasitas SDM, dana dan publikasi. Masalah tersebut dapat di minimalisir dengan kreativitas dalam pengelolaan perpustakaan hingga fundraising dan memperluas networking.
Hal yang membedakan antara perpustakaan dan TBM ialah dari segi pengorganisasian, perpustakaan menciptakan kesan formal dengan berbagai aturan, sedangkan TBM berlangsung secara informal yang terpenting ialah koleksi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. TBM yang berkembang di Yogyakarta dipelopori oleh tiga pihak utama yaitu pemerintah, pribadi yang mencintai buku dan berjiwa sosial tinggi serta pihak swasta (LSM dan perusahaan). Sebagian besar TBM di Yogyakarta sudah lebih dari sekedar berkampanye peningkatan minat baca, tetapi juga telah sampai pada tahap pemberdayaan masyarakat.
Telah terjalin komunikasi yang baik antara pustakawan dan pegiat TBM, meskipun masih pada tahap hubungan antar individu yang memungkinkan terwujud sinergi antara perpustakaan dan TBM. Perpustakaan maupun TBM biasa dengan gerakan untuk membudayakan kegemaran membaca. Bahkan dalam UU 43, 2007 Pembudayaan Kegemaran Membaca menempati Bab tersendiri yaitu Bab XII. Sebelum membaca hendaknya masyarakat diajak terlebih dahulu untuk membiasakan berpikir kritis (Critical Thinking). Sebenarnya tugas perpustakaan dan TBM ialah ikut menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat setempat.
Pustakawan Indonesia yang baru berbeda dengan pustakawan Indonesia yang jadul. Karakter seperti apa yang kalian wujudkan adalah hak kalian. Ungkapan dari Bung Karno rasanya cocok, kami hanyalah mengantar generasi muda ke pintu gerbang kemerdekaan berpikir. Perpustakaan dimaknai seperti tafsir kaum muda tidak masalah, pun perpustakaaan harus selalu bertransformasi seiring perkembangan zaman.
Perpustakaan adalah wahana belajar sepanjang hayat, wahana pelestarian (kekayaan kebudayaan bangsa), wahana pendidikan, wahana penelitian, wahana informasi dan wahana rekreasi. Tujuan perpustakaan ialah memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, memperluas wawasan dan pengetahuan, meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa. Perpustakaan berasaskan pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, kemitraan.
UU 43, 2007 mendefinisikan pustakawan sebagai seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan atau pelatihan kepustakawanan, serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Pustakawan adalah penghubung aktif antara pemustaka dan sumberdaya informasi maupun pengetahuan. Continuing Professional Development (CPD) adalah upaya mengoptimalkan diri sebagai profesional. Tidak hanya terbatas pada keprofesionalan tetapi juga mengembangkan kepribadian.
Dengan CPD, seseorang dapat:
a.) memelihara dan mengembangkan kompetensi dalam bekerja,
b.) menjadi kompetitif dalam persaingan di lapangan kerja,
c.) menunjukkan komitmen pribadi pada tugas yang akan datang,
d.) menghindarkan diri dari kejenuhan dan mengelola perubahan dengan menghadirkan tantangan intelektual yang baru dan menggairahkan.
CPD adalah pembelajaran terencana serta merupakan refleksi karir seorang profesional. Empat pilar kepustakawanan:
a.) panggilan hidup,
b.) semangat hidup,
c.) karya pelayanan,
d.) yang dilakukan secara profesional.
Dan lima sila dasar kemampuan seorang pustakwan:
a.) berpikir kritis,
b.) kemampuan membaca,
c.) kemampuan menulis,
d.) kemampuan wirausaha (entrepreneurship), e.) berlandaskan etika.
Sinergi adalah daya atau kekuatan untuk memadukan pandangan, sumberdaya dan keterampilan kelompok orang dan organisasi. Dalam bersinergi terdapat tiga elemen utama: a.) kolaborasi atau kerjasama,
b.) keterlibatan,
c.) kepercayaan atau trust.
Perpaduan dalam sinergi itu akan menghasilkan kemitraan yang efektif, efisien dan berkesinambungan. TBM dan perpustakaan selayaknya bekerjasama atau bersinergi menjawab kebutuhan masyarakat dan rakyat. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perlu dilakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Perpustakaan dan TBM berkolaborasi mengidentifikasi problem utama yang dihadapi masyarakat setempat.
Perpustakaan Indonesia akan terus berbenah, mengikuti perkembangan zaman, perkembangan teknologi menyilaukan pandangan pustakawan Indonesia. Banyak upaya dilakukan untuk mengejar TIK, tetapi melupakan hakikat sebenarnya pustakawan dibangun untuk siapa, bukankah pustakawan itu dibangun untuk rakyat Indonesia? Semua harus dilayani tanpa membedakan pribadi. Tumbuh kebutuhan rakyat jelata untuk hidup cerdas. Kebutuhan ini harus diupayakan pemenuhannya melalui perpustakaan umum yang bersinergi dengan TBM.
Setelah dialog antara mahasiwa dan dosen, yang dalam hal ini anak dan bapak, dilanjutkan dengan sebuah tulisan. Sebuah tulisan yang terkait dengan dialog sebelumnya. Tulisan pertama menceritakan mengenai Taman Baca Masyarakat (TBM) yang berada di Yogyakarta oleh Ratih Rahmawati. Sementara tulisan kedua berjudul, Memaknai Perpustakaan, yang ditulis oleh Blasius Sudarsono. Dan tulisan ketiga berjudul, Sinergi Perpustakaan dan TBM, ditulis oleh Blasius Sudarsono dan Ratih Rahmawati. Menarik menyimak gabungan antara sebuah dialog yang kritis dan tulisan yang mencerahkan. Buku berjudul Perpustakaan Untuk Rakyat ini cocok dibaca untuk menambah pengetahuan secara filosofis mengenai ko- eksistensi Perpustakaan dan Taman Baca Masyarakat (TBM).
Oleh Student Employee Fmrc Fia UB: Aldi Rahman Untoro
Courtesy to : Ratih Rahmawati dan Blasius Sudarsono