Jurusan Administrasi Publik Helat Seminar Internasional Tiga Negara

Bagikan Ke:

Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB), menyelenggarakan Seminar Internasional dengan tema “Kebijakan Ekonomi Politik Indonesia, Malaysia, dan Thailand dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN”. Acara ini diselenggarakan pada Kamis, 17 Maret 2016, dan bertempat di Aula Gedung A FIA UB Lantai 4. Dalam membahas tema tersebut, panitia menghadirkan 4 orang pakar di bidang ekonomi, politik, dan kebijakan publik dari 3 negara sekaligus. Mereka adalah: Prof. Dr. Mohd. Fauzi Yaacob (Universiti Malaya), Assc. Prof. Ahmad Martadha Mohammed, Ph.D (Universiti Utara Malaysia), Pol. Capt. Vichien Tansirikonghon, Ph.D (Burapha University, Thailand), dan Dr. Mardiyono, MPA (Universitas Brawijaya, Indonesia).

Sebagaimana diketahui bahwa MEA adalah suatu kesepakatan ekonomi yang telah disepakati bersama oleh seluruh anggota ASEAN. Dengan demikian, mau tak mau masing-masing anggota MEA harus mempersiapakan diri dengan baik-baik agar dapat meraih manfaat sebanyak-banyaknya dari perjanjian ekonomi bebas di level ASEAN tersebut.

Acara Seminar Internasional ini dihadiri oleh ratusan mahasiswa dari jenjang S1, S2, dan S3 dari Jurusan Administrasi Publik. Selain itu, nampak pula hadir para dosen yang tergabung dalam Indonesian Association of Public Administration (IAPA) Jawa Timur, sebuah asosiasi dosen yang menekuni bidang Administrasi Publik di wilayah cabang Jawa Timur.

Para narasumber berfoto bersama dengan pimpinan FIA UB
Para narasumber berfoto bersama dengan pimpinan FIA UB

Dalam sambutannya, Dekan FIA UB Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS menyampaikan bahwa kerjasama yang telah terjalin antara kampus-kampus tempat para narasumber bernaung harus dilanjutkan ke jenjang yang lebih mendalam di masa mendatang. Hal ini penting agar terjadi pertukaran ilmu dan informasi yang bermanfaat untuk masing-masing kampus terutama yang berkaitan dengan persiapan dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. “Saya berharap kegiatan semacam ini berlanjut dalam bentuk-bentuk yang lain seperti penelitian bersama antar dosen masing-masing kampus di Indonesia, Malaysia, dan Thailand,” ujar Dekan.

Kesempatan pertama mempresentasikan materinya diberikan kepada Prof. Dr. Mohd. Fauzi Yaacob dari Universiti Malaya. Yaacob mengulas sejarah kebangkitan Malaysia sejak merdeka dari penjajahan Inggris di awal-awal presentasinya. Setelah merdeka, Malaysia harus menghadapi situasi sosial, politik, dan ekonomi yang serba terbatas. Pada saat itu, banyak terjadi perpecahan sosial dan kecurigaan terhadap warga dari etnis lain. Namun, keadaan itu lambat laun bisa berubah ke arah yang lebih baik dan membuat Malaysia dinilai sebagai salah satu negara yang mampu merubah kondisi sosial ekonominya ke arah perkembangan sebagai negara maju yang modern dengan mulus. Hal ini salah satunya dicapai dengan pencanangan rencana 5 tahunan, dimulai dari First Malaya Plan pada tahun 1956-1960 dan Second Malaya Plan pada 1960-1965. Saat itu, cara yang harus ditempuh oleh Malaysia adalah perencanaan pembangunan yang berbeda-beda di tiap wilayah, tepatnya di wilayah semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak. Hal ini, menurut laporan dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) pada tahun 1954, disebabkan oleh adanya ‘perpecahan politik’ yang terjadi di wilayah-wilayah tersebut.

Pada kesempatan kedua, Assc. Prof. Ahmad Martadha Mohammed, Ph.D dari Universiti Utara Malaysia menyampaikan bahwa pada dasarnya hubungan Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) terdiri dari 3 bagian, yakni ASEAN Economic Community, ASEAN Security Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Meski demikian, satu tantangan yang dihadapi oleh perwujudan Masyarakat ASEAN ini adalah adanya resistensi dari masyarakat ASEAN itu sendiri yang cenderung membanggakan tradisi dan budayanya masing-masing. Berbeda dengan Uni Eropa yang memiliki kesamaan budaya, termasuk bahasa, dalam membangun hubungan di antara masyarakatnya, Masyarakat ASEAN masih belum melihat perlunya adanya kesatuan masyarakat yang memiliki satu bahasa dan identitas lainnya yang serupa. Sehingga, saat ini masyarakat di ASEAN masih belum layak untuk disebut dan sudi menyebut dirinya Masyarakat ASEAN.

Pada kesempatan ketiga, Vichien Tansirikonghon, Ph.D dari Burapha University menyampaikan bahwa sebenarnya konsep masyarakat regional di ASEAN telah dicetuskan pertama kali sejak 40 tahun yang lalu. Bahkan, konsep ini mendahului munculnya konsep Uni Eropa pada saat itu. Vichien menggarisbawahi bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN ini akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat di negara-negara di ASEAN. Menurutnya, kesiapan masing-masing negara dalam melaksanakan MEA tergantung pada kesiapan sumber dayanya. Salah satunya dalam penggunaan bahasa. Vichien menuturkan bahwa negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura dipandang lebih siap dalam menghadapi MEA karena masyarakatnya, terutama generasi mudanya, bisa berbicara dalam lebih dari satu bahasa asing.

Vichien Tansirikonghon sedang memaparkan pemikirannya
Vichien Tansirikonghon sedang memaparkan pemikirannya

Vichien juga mengajak generasi muda untuk melihat kembali pada sejarah, sejarah yang benar-benar ditulis oleh masyarakat di masing-masing negara. Ia memandang sejarah yang ada sekarang lebih banyak ditulis dan dibentuk oleh bangsa Barat dengan ideologi imperialisme dan kolonialismenya. Bangsa Barat dengan lembaga-lembaga tingkat dunia yang dibangunnya, seperti World Bank, IMF, dan berbagai perkumpulan negara-negara maju, memaksa negara-negara berkembang untuk mengikuti cara-cara mereka dalam mengembangkan negara.

Tim Liputan:

Artikel/Foto: Aulia Luqman Aziz

Berita Terbaru

Artikel Lainnya

Dapatkan informasi terbaru dari Fakultas Ilmu Administrasi Univesitas Brawijaya

Lewati ke konten