Hadapi MEA: Malaysia Bangkit, Thailand Perlu Banyak Berbenah

Bagikan Ke:

Melanjutkan kegiatan kolaborasi akademisi dari tiga negara, Jurusan Administrasi Publik FIA UB menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Political Economy Policy in Indonesia, Malaysia, and Thailand during ASEAN Economic Community Era” (18/3). Dalam acara yang dihelat di Ruang Seminar Gedung B FIA UB Lantai 2 tersebut, hadir sebagai narasumber utama adalah Prof. Dr. Mohd. Fauzi Yaacob (Universiti Malaya, Malaysia), Pol. Capt. Vichien Tansirikonghon, Ph.D (Burapha University, Thailand), dan Dr. Mardiyono, MPA (FIA UB) dengan dimoderatori oleh Ahmad Bambang Barrul Fuad, M.Si (FIA UB). Kegiatan FGD tersebut dihadiri oleh dosen dan mahasiswa Program Pascasarjana FIA UB serta para dosen yang tergabung dalam Indonesian Association of Public Administration (IAPA) Jawa Timur.

Membuka acara FGD tersebut, Rektor UB Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri menyampaikan bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah sebuah peluang yang baik bagi negara-negara ASEAN di era globalisasi, khususnya dalam rangka pembangunan ekonomi. Rektor UB memandang perlunya negara-negara ASEAN untuk bekerjasama dalam mewujudkan satu tatanan masyarakat ekonomi regional yang menguntungkan semua pihak. “Membangun kerjasama di antara negara-negara ASEAN sangat penting peranannya, khususnya dalam mempercepat implementasi MEA,” ujar Rektor.

Sementara itu, pandangan kritis disampaikan oleh Pol. Capt. Vichien Tansirikonghon, Ph.D. Pakar bidang politik dari Burapha University, Thailand, ini mengajak para peserta untuk berpikir apakah memang perlu diberlakukannya suatu pasar tunggal yang menaungi negara-negara ASEAN. Vichien memandang bahwa MEA adalah salah satu bentuk liberalisasi sektor ekonomi yang berpotensi memunculkan kesenjangan ekonomi dan sosial antara negara-negara ASEAN yang tergolong kuat dan yang lemah. Tentang kesiapan negaranya, Thailand, dalam menghadapi MEA, Vichien terang-terangan mengakui bahwa negaranya tidak mempersiapkan apa pun. Menurutnya, pemerintah Thailand belum memahami esensi dari MEA sehingga tidak mempersiapkan kebijakan yang matang di bidang ekonomi. “Saya khawatir dengan adanya MEA, perusahaan besar akan mencaplok perusahaan kecil yang lemah, dan negara dengan ekonomi maju akan mendominasi perekonomian dalam negeri negara yang lebih lemah,” ujar mantan polisi yang beralih profesi menjadi dosen ini.

Kiri-kanan: Vichien Tansirikonghon, Ahmad Bambang Barrul Fuad, Mohd Fauzi Yaacob, Mardiyono
Kiri-kanan: Vichien Tansirikonghon, Ahmad Bambang Barrul Fuad, Mohd Fauzi Yaacob, Mardiyono

Sementara itu, Prof. Dr. Mohd. Fauzi Yaacob dari Universiti Malaya lebih banyak menceritakan tentang rahasia kebangkitan ekonomi Malaysia di era modern. Yaacob menuturkan bahwa di era 1950 hingga 1970an, pemerintah Malaysia menyadari kekuatan etnis Cina di Malaysia yang sangat kuat dalam hal penguasaan bidang ekonomi. Pemerintah Malaysia, ujar Yaacob, ingin agar kaum pribumi lebih banyak mengendalikan perekonomian di negaranya sendiri. Oleh karena itu, pemerintah Malaysia mendirikan Bumiputera yang berperan dalam mengambilalih dan mengendalikan perusahaan dalam negeri sehingga kaum pribumi di Malaysia lebih berdaya di negerinya sendiri. “Bumiputera dibentuk untuk mengimbangi kompetisi antara Malaysia dan negara Cina serta etnis Cina yang tinggal di Malaysia agar penduduk asli lebih berperan dan berdaya dalam mengendalikan kekayaan negerinya,” ujar Yaacob.

Tim Liputan:

Artikel: Aulia Luqman Aziz

Foto: Hendrik Tri Laksono, Aulia Luqman Aziz

Berita Terbaru

Artikel Lainnya

Dapatkan informasi terbaru dari Fakultas Ilmu Administrasi Univesitas Brawijaya

Lewati ke konten