Memaknai Literasi yang Sebenarnya
Sebuah tulisan reflektif yang disebut esai, lebih menekankan pada aspek kebahasaan seorang penulis, begitu kental akan subjektivitas, serta argumentasi yang dibekali oleh fakta lapangan. Buku berjudul “Dongeng Panjang Literasi Indonesia: Sehimpun Esai” menggambarkan hal-hal yang kita abaikan sebab adanya suatu benchmark dicipta oleh kebanyakan orang. Patokan untuk paksa lahirnya budaya membaca, tingkatkan minat baca, gerakan literasi, tapi lupa bahwa definisi literasi bukanlah sesempit itu.
Literasi bukan hanya perkara baca-tulis-hitung, tapi juga ada kritis, mengkaji, menganalisa, komunikasi, dimana hal ini yang luput oleh sebagian besar masyarakat, khususnya orangtua. Padahal orangtua atau keluarga adalah awal membangun budaya literasi.
Literasi tidak bisa disempitkan hanya pada sekadar perkara aksara, melek huruf, bisa membaca dan menulis, tapi juga bagaimana seseorang mampu berkomunikasi dalam masyarakat. Ketika siswa pintar di kelas, tapi gagap hadapi kehidupan sosial. Hal ini yang seharusnya lebih diperhatikan, memaknai literasi secara luas. Literasi dapat dimaknai sebagai sebuah proses pembelajaran yang berlangsung seumur hidup.
Literasi memang tak bisa dipisahkan dengan membaca. Membaca kegiatan yang kaya manfaat. Tidak ada yang salah bila sedikit memaksa anak mencintai aktivitas membaca, sebab seorang pembaca yang baik dan tekun cenderung memiliki ketajaman analisa teks dan daya ingat yang lebih baik. Dan untuk membangun kebiasaan membaca tidak semudah itu.
Seperti kata Chambers, readers are made not born. Kebiasaan membaca dibentuk bukan tercipta secara langsung. Keluarga sebagai tempat pertama dan menentukan dalam membangun iklim kondusif, membangun kesadaran membaca tinggi. Membaca tidak hanya buku pelajaran, bisa juga buku-buku sastra seperti novel, cerpen, puisi.
Phillips Pullman mengatakan bahwa anak membutuhkan sastra sama halnya seperti kebutuhan akan air dan udara. Sastra membuat anak kenal kosa kata baru. Bukan hanya sebagai hiburan, melainkan juga bekal menjalani kehidupan. Semua buku aman bagi anak. Sayangnya ada beberapa pihak yang menganggap bahwa buku ada yang radikal, tidak aman dan sebagainya.
Seperti banyaknya pelarangan dan penghancuran buku yang terjadi, ini menandakan betapa bobroknya pemerintahan kita. Padahal sebenarnya tidak ada buku yang berbahaya, jika dibaca dan dipahami secara benar. Perpustakaan Nasional pun bahkan ikut mendukung penghancuran buku berhaluan “kiri”. Seharusnya ini tidak terjadi, karena Perpusnas berperan sebagai lembaga pemerintah yang bersifat netral, menyimpan setiap terbitan yang lahir di Indonesia.
Indonesia kaya akan tradisi dan budaya adat istiadat. Suku yang beragam, bahasa daerah yang variatif, memunculkan berbagai tradisi di persada kita. Sayangnya kearifan lokal mulai tergerus, akibat ketinggalan zaman, serta semakin banyak yang tidak mengindahkan. Orang-orang hanya melakukan tanpa tahu makna dibalik kegiatan tradisi tersebut, Indigenous literasi berhubungan dengan hal itu.
Indigenous literasi, pengetahuan yang bersifat indigenous atau asli merupakan pengetahuan yang lahir, berkembang, dan digunakan oleh masyarakat secara turun-temurun, hingga menjadi sebuah tradisi. Praktik indigenous literasi merupakan sebuah proses pembelajaran terhadap nilai-nilai yang dianggap “tua” justru menjadi sebuah identitas dan eksistensi suatu masyarakat. Contohnya sebuah komunitas yang mengaktifkan kembali fungsi surau yang bukan hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai lembaga pendidikan informal bagi masyarakat Minangkabau.
Tulisan yang mengalir dan tertata, penjelasan konsisten dan komunikatif menjadikan halaman demi halaman terlewati senantiasa menggiring dalam keadaan kontemplatif. Perenungan yang akan secara otomatis menganggukkan kepala kita.
Buku berjudul, “Dongeng Panjang Literasi Indonesia: Sehimpun Esai” karya Yona Primadesi. Yona Primadesi, lahir di Padang, Sumatera Barat. Aktivitas rutinnya mengajar pada Program Ilmu Perpustakaan di salah satu perguruan tinggi. Menulis esai, puisi, cerpen. Selain menulis, beliau aktif dalam kegiatan literasi anak, serta menggagas sebuah komunitas bernama Rumah Kreatif Naya.
Oleh Aldi Rahman Untoro
Courtesy to: Yona Primadesi
Deskripsi Bibliografis: https://goo.gl/XrSd7x