Bahasa Inggris Bahasa Indonesia (0341) 553737 Selamat Datang di Website Official FMRC FIA UB

Resensi Buku Agus Salim: Diplomat Ulung Perintis Jalan Menuju Dunia Internasional

Menuliskan sejarah dengan pendekatan jurnalistik, tentu gaya menarik khas jurnalis, tapi tetap mempertimbangkan keakuratan. Tujuan jurnalisme adalah mengetengahkan fakta yang menarik, dramatik, tanpa mengabaikan presisi. Tulisan ini menceritakan kisah Agus Salim yang menarik, kita bisa melihat hal-hal yang unik dari gaya hidup beliau.

Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Mesir secara de jure tidak terlepas dari tangan dingin Haji Agus Salim. Karena itulah pengakuan de jure pertama di dunia Internasional. Solichin Salam, sejarawan dan penulis sejumlah biografi tokoh Indonesia dalam bukunya Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional (1965) menilai bahwa Salim bukan hanya diplomat ulung, melainkan juga diplomat pertama yang merintis jalan bagi Indonesia dalam hubungan maupun kegiatan-kegiatan dengan dunia internasional.

Haji Agus Salim bertemu dengan Tjokroaminoto pemimpin Sarekat Islam. Solichin Salam dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim menyatakan Salim dan Tjokroaminoto tak pernah berselisih pendapat. Mereka sangat akur dalam bekerjasama. Salim menyarikan dan merumuskan gagasan-gagasan Tjokroaminoto ke dalam bentuk yang sistematis, untuk kemudian disampaikan ke publik. “Hanya terhadap Tjokroaminotolah Salim mau mengalah,” katanya. Keduanya malah sering disebut sebagai dwitunggal Sarekat Islam.

Pada kongres Jong Islamieten Bond (JIB) di Solo, Agus Salim memerintahkan tabir yang memisahkan kelompok pria dan wanita disingkirkan. “Ini bertolak belakang dengan segala sesuatu yang menjadi kelaziman. Sikap ini nyata tidak benar,” kata Salim kepada peserta kongres. Perintah itu membuat tanda tanya pada benak para hadirin. Bukankah membuat pembatas diantara mereka merupakan kebiasaan khas muslim? Salim menjelaskan bahwa pengucilan kaum wanita merupakan suatu adat Arab, bukan keharusan agama Islam. Islam yang dilihat dari kacamata Salim adalah agama yang lapang. Baginya jihad adalah perang wajib antara kebajikan dan kebatilan yang dilakukan dengan cara cerdas dan rasional, bukan sekadar perang fisik.

Kelebihan yang dimiliki oleh Salim ialah ketika mendidik anak muda dengan gemar berdiskusi. Tokoh intelektual muslim seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo dan Jusuf Wibisono adalah hasil didikannya yang gemilang, hingga menjadikan lahir tokoh demikian. Ia lebih suka berdiskusi ketimbang menggurui, dan membuat mereka memikirkan dan menemukan jawabannya sendiri.

Agus Salim mendidik sendiri anak-anaknya di rumah bersama istrinya. Sejak lahir, anak-anak sudah diajak berbicara dalam bahasa Belanda. Dia punya alasan ideologis, ia menganggap bahwa pendidikan saat itu adalah pendidikan kolonial. Dia tak ingin anaknya dicekoki pemikiran dan kebudayaan penjajah. Dia menganggap, pendidikan saat itu sangat diskriminatif, seperti pemberian nilai rendah bagi pribumi meski kemampuan mereka sama atau bahkan melebihi orang Belanda. Keputusan Salim ini dianggap aneh oleh kerabat dan tetangga. Aneh, tentunya karena seorang anak tak bersekolah formal, apalagi Salim sendiri adalah orang terpelajar berpendidikan tinggi. Anak-anak diajarkan oleh ibunya bernama Zaitun untuk membaca, menulis dan berhitung, sementara ayahnya mengajarkan segala hal. Tidak ada kelas dan jam pelajaran yang mengikat. Dengan model pendidikan homeschooling, anak-anak Agus Salim meraih sukses dalam kehidupannya. Pada awal perkawinan, Salim menganjurkan istrinya Zaitun Nahar untuk banyak membaca dan belajar. “Kalau kita punya anak nanti, tak usah kita sekolahkan mereka ke sekolah Belanda. Kita sendiri yang harus mengajar mereka!” kata Salim tegas.

Salim senang berdiskusi dengan ulama di Mekah, ia menjadi diplomat dan penerjemah, konsulat di Jeddah. Kepiawaian Agus Salim dalam urusan bahasa memang tak dapat diragukan. Dia menguasai sembilan bahasa mulai dari bahasa Belanda, Arab, Inggris, Jerman, Perancis, Latin, China, Jepang, sampai Turki, selain bahasa daerah seperti Minang, Jawa, Sunda. Ia juga menerjemahkan beberapa buku asing. Ia pernah memimpin redaksi di beberapa surat kabar. Menjadi anggota pemikir penghalus bahasa dalam rancangan Undang-Undang. Namanya termasuk dalam panitia sembilan dan sebagai perancang hukum dasar.

Salim pernah memimpin Fadjar Asia. Sebagai pemimpin redaksi, ia terjun langsung ke lapangan. Berkeliling pedalaman Jawa, Sumatra, dan Kalimantan untuk membuat laporan tentang keadaan buruh yang diperas tenaganya dan diupah amat minim. Laporan Salim tersebar luas karena distribusi Fadjar Asia mencapai kota seperti London, Den Haag, Moskow, hingga Mesir, India dan Cina. Kelakukan pemerintah kolonial bahkan sampai terdengar oleh Himpunan Serikat Buruh Belanda (Nederlands Verbond van Vakverenigingen, NVV). Melihat kiprah Salim, NVV mengangkatnya menjadi penasihat Konferensi Buruh Sedunia di Jenewa, Swiss. Di depan forum itu Salim berpidato dalam empat bahasa yaitu bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman, ia lantas membeberkan kekejaman Belanda di Hindia Belanda. Pidato itu jelas membuka mata dunia. Amerika Serikat bahkan meninjau kembali politik perdagangan dengan Belanda. Akhirnya Belanda terpaksa mengubah politik kolonialismenya.

Cerdas dan kritis sejak belia. Agus Salim sudah menorehkan prestasi sejak sekolah dasar. Ia tak minder malah berpikir kritis. Kemampuannya unggul di seluruh mata pelajaran. Lulus dengan predikat terbaik sejak pendidikan dasar hingga menengah. Dengan pendidikan dan kemampuan yang tinggi, sebenarnya Agus Salim dapat hidup nyaman jika bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda, tapi ia memilih resistan. Lantaran sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah kolonial, ia kesulitan mencari nafkah. Agus Salim sempat bercita-cita masuk sekolah kedokteran di Belanda selepas lulus dari HBS. Otaknya yang encer membuatnya dikenal hingga ke kediaman RA Kartini di Jawa Tengah. Kartini pun merelakan beasiswanya ke Belanda dialihkan kepada Salim. Tapi pria bertubuh kecil ini menolak dan mengubah haluan.

Dalam buku hariannya Het dagboek van Shermerhorn, ketua delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, Willem Schermerhorn, ia memuji Agus Salim sebagai orangtua yang sangat pintar, seorang jenius dalam berbahasa, berbicara dan menulis dengan sempurna paling sedikit dalam sembilan bahasa. Ia hanya mempunyai satu kelemahan, selama hidupnya melarat. Memang kehidupan Salim begitu sederhana, tapi disitu justru yang menarik. Salim mencoba memegang teguh prinspinya.

Agus Salim menemui seorang teman di kantor Belanda. Teman itu mengejeknya, “Coba kalau mau bekerja sama Belanda, tentu kau tidak seperti sekarang, tak punya apa-apa”. Tidak berapa lama, datang seorang adviseur Belanda. Ketika melihat Salim, ia datang kepadanya memberi hormat dan mengulurkan tangan. Sesudah dia pergi, Salim berkata kepada temannya, “Coba kalau saya bekerja sama Belanda, tentu seperti kau. Melihat majikanmu datang, engkau merasa ketakutan. Meskipun saya tidak bekerja, dia hormat kepada saya”.

Mohammad Hatta menilai Agus Salim sebagai tokoh yang jarang ada tandingannya dalam bersilat lidah, kecerdasannya begitu kentara baik lewat lisan dan tulisan, apalagi ketika ia beradu argumentasi. Agus Salim wafat pada tanggal 4 November 1954 di rumah Sakit Umum Jakarta setelah sakit beberapa hari. Ia dimakamkan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Buku berjudul “Haji Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik” ini dipenuhi kisah-kisah hidup Agus Salim yang menarik sekaligus unik. Kecerdasannya menjadikan humornya begitu nyaman. Anak-anak muda dan beberapa tokoh Indonesia senang mengunjungi rumahnya untuk berdiskusi. Rasanya kita perlu sejenak membaca buku ini, untuk kemudian memandu kita melihat sejarah mengenai seorang tokoh yang istimewa. Seorang tokoh yang dikenal membuat orang luar negeri heran karena makan menggunakan tangan, tapi argumentasinya logis dan mampu menjadikan lawannya terdiam.

“Tuhan tidak pernah meminta kepada manusia untuk membantu-Nya memerangi kebatilan. Tuhan mengajarkan kepada kita untuk berdoa memohon bantuan Tuhan dalam memerangi kebatilan.” (Ceramah di pertemuan Indonesia-Pakistan Cultural Association, 9 Desember 1953)

Oleh Aldi Rahman Untoro (Student Volunteer FMRC FIAUB)
Courtesy to : Arif Zulkifli
Buku ini dapat diakses di link berikut : http://fia.ub.ac.id/lama/katalog/index.php…

Our Official Account
Website : http://fia.ub.ac.id/lama/fmrc
Line : @lyh0094v
Instagram : @fmrc.fiaub
Email : ruangbacafia@gmail.com
Facebook : Fmrc Fia UB
Lokasi : Gedung A Lat 1 FIA UB

Foto Fmrc Fia UB.
Search