Resensi Buku Destroy, She Said
Destroy, She Said adalah novel Marguirete Duras yang merupakan titik balik karirnya dalam dunia sastra. Destroy, She Said adalah tentang absurditas. Sudah menjadi ciri khas Duras untuk menggambarkan intrik karyanya melalui penyamaran plot tertentu. Dia sendiri yang mengatakan bahwa ia ingin karyanya ini mampu dinikmati sebanyak sepuluh kali dengan sepuluh sudut pandang yang berbeda. Gaya penulisan Duras dalam menarasikan dialog yang menyerupai skenario teatrikal memperkuat gagasan bahwa interpretasi makna pada novel ini membutuhkan daya imajinasi pembaca. Misalnya dalam pengilustrasian latar tempat dan suasana pada awal babak, seperti “Matahari bersinar. Hari ketujuh”, “Pukul sembilan, petang, menjelang malam di hotel. Juga di hutan”.
Tema yang ditonjolkan dalam novel ini yakni kehampaan, kekosongan, erotisme yang terbalut dalam sebuah kemisteriusan plot. Latar yang pertama kali dimunculkan dalam novel yang juga difilmkan tahun 1969 ini adalah sebuah hotel. Dikelilingi kesunyian dengan bunyi permainan bola tenis samar-samar, hotel tersebut adalah tempat yang pas untuk mengasingkan diri. Meskipun bunyi bola tenis yang sedang dimainkan sering disebutkan dalam narasi, namun keberadaan fisiknya digambarkan tidak terjangkau oleh pandangan tokoh-tokoh dalam novel. Begitu juga dengan keberadaan hutan yang secara misterius disebut-sebut dalam dialog para tokoh, namun tidak pernah dihadirkan secara nyata dalam latar. Hotel itu sepi pengunjung. Tidak digambarkan ada pengunjung lain selain Max Thor, Stein, Elisabeth Alione, dan Alissa Thor. Keempat orang inilah yang menjadi pusat dalam novel Duras “Hancurkan, Katanya” jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.
Sama seperti plot cerita yang samar, dialog-dialog keempat tokoh tersebut juga tidak disusun dalam kalimat dialog pada umumnya. Hal ini dipengaruhi oleh gaya penulisan Duras yang lebih cenderung pada gaya penulisan skenario film. Bahkan penulis kelahiran Vietnam pada tanggal 4 April 1914 ini dalam wawancaranya ‘Destruksi dan Bahasa’ yang dimuat di bab akhir novel ini, mengaku bahwa tidak ada karakter utama yang lebih penting dari yang lainnya di dalam Destroy. Karakter-karakter itu bisa saja bertukar kedudukan. Yang dikatakan salah satu karakter laki-laki dapat juga dikatakan oleh karakter lainnya.
Orang pertama yang terlebih dahulu tiba di hotel adalah Elisabeth Alione, dua hari sebelum Max Thor. Pesona Elisabeth menyedot perhatian Max Thor. Hingga hari ketujuh, ia tak pernah luput memperhatikan rutinitas Elisabeth seperti saat dia tidur siang di dekat lapangan tenis di atas kursi malas berwarna putih, meminum beberapa pil setiap makan sambil terkadang membuka-buka bukunya, dan menerima telepon usai tidur siangnya. Di balik itu, diam-diam Stein mengawasi kebiasaan Max Thor memperhatikan Elisabeth. Stein adalah tamu di hotel itu selain Max Thor dan Elisabeth yang kemudian berteman dengan Max Thor. Pada awal perbincangan mereka, Max Thor menceritakan bahwa istrinya akan berkunjung. Alissa Thor datang esok harinya. Hubungan di antara mereka pun terjalin karena rupanya Stein sempat jatuh cinta pada Alissa pada pertemuan pertama mereka di hotel itu, beberapa tahun sebelumnya.
Alissa menyadari bahwa suaminya tertarik pada Elisabeth, dan Stein ternyata juga menaruh hati pada Alissa. Dia memutuskan menjalin cinta dengan Stein sementara Max menyadarinya. Tidak ada drama perkelahian atau konflik percintaan yang mengetengahkan ego dalam hubungan mereka berempat. Berempat, karena Elisabeth juga terseret ke dalam pusaran kegilaan mereka. Max tidak dapat mengendalikan ketertarikannya terhadap Elisabeth. Sementara Elisabeth sendiri menyimpan latar belakang tragis yang berkaitan dengan keberadaannya di hotel tersebut.
Setiap dialog yang diucapkan oleh keempat tokoh dalam novel terasa begitu halus dan tenang yang mampu menghisap fokus pembaca. Dialog-dialognya begitu kuat membangun intrik cerita. Tidak jauh berbeda dari karya-karyanya yang lain, seperti India Song (1975), Moderato Cantabile (1958), The Lover (1984), dan The Sea Wall (1950), Destroy She Said melahirkan karya yang mampu memperkaya sudut pandang dan cakrawala baru dalam dunia sastra. Meskipun telah melampaui beberapa dekade semenjak novel ini diterbitkan, tapi tampaknya Destroy She Said masih akan terus mendapatkan tempat dalam perkembangan khazanah sastra dunia. Bagi para pembaca yang menginginkan tak hanya kedalaman dialog tapi juga perspektif dalam pemaknaan karya intelektual, fiksi ini dapat menjadi referensi yang tepat. (Volunteer FMRC FIA UB / Zendy Titis)
Buku ini tersedia disini