JOKOWI DAN UNIVERSITAS
JOKOWI DAN UNIVERSITAS
Oleh : Sulistyowati Irianto
Guru Besar Antropologi Hukum FH Universitas Indonesia
Harian KOMPAS, 27 Januari 2018
Dalam beberapa pidatonya, Presiden mempertanyakan sejauh mana universitas kita sudah berubah.
Dalam beberapa pidatonya, Presiden Joko Widodo mempertanyakan sejauh mana universitas kita sudah berubah, mengingat persaingan dunia masa kini akan memenangkan mereka yang tercepat dalam inovasi teknologi digital.
Dikatakan, sejak 30 tahun yang lalu nomenklatur keilmuan yang dikembangkan di universitas tetap linier, tidak ada yang berubah. Padahal, era disrupsi tidak hanya menerjang perusahaan raksasa saja, tetapi kemungkinan juga universitas apabila tidak terbuka terhadap perubahan (AIPI, 2017). Apa sebabnya universitas kita sukar terbuka terhadap ilmu multi dan interdisiplin, suatu kecenderungan ilmu pengetahuan masa kini?
Ancaman disrupsi diindikasi ketika pendidikan tinggi dianggap tak merespons kebutuhan masyarakat dan industri yang terus berubah. Sementara itu, ilmu pengetahuan dan informasi melimpah di internet, termasuk kuliah dari para profesor ternama di dunia. Saat ini, industri digital raksasa dalam perekrutannya tidak lagi mengandalkan ijazah formal, tetapi daya inovatif dan kreativitas orang muda.
*Belajar dari negara lain*
Universitas tumpuan kemajuan bangsa, bukan slogan klise. Di banyak negara lain, temuan sains dan teknologi dihasilkan oleh penelitian laboratorium universitas dan kerja keras para ilmuwan sepanjang hidupnya. Jenjang pascasarjana menjadi tumpuan. Mahasiswa pascasarjana dibayar sebagai peneliti dalam proyek penelitian profesornya untuk industri.
Di akhir masa studi, ia akan menghasilkan berbagai artikel jurnal berkualitas atau hak paten. Universitasnya mendapat nama dan insentif yang besar dari industri atau negara; yang akan semakin memperbesar daya dukung lembaga. Sebelum masuk universitas, calon mahasiswa pascasarjana sudah memiliki hasrat ingin memproduksi ilmu pengetahuan tertentu. Maka, yang dicari pertama kali adalah profesor dengan keahlian yang bisa membimbingnya, bukan universitas. Tidak heran jika ia biasa ditanya berasosiasi dengan profesor siapa, bukan berasal dari departemen apa.
Dalam bidang sosial dan humaniora, segala persoalan yang dihadapi masyarakat dalam bidang apa pun dapat dicari penjelasannya dari keahlian, tulisan, dan rekomendasi para ilmuwan. Saat ini, dunia sedang dilanda dampak paham populis konservatisme, yang berdampak luas memecah belah umat manusia berdasarkan asal-usul: pribumi-imigran, kulit putih-kulit warna, dan agama; dilancarkan oleh para politisi untuk mendapatkan kekuasaan.
Para ilmuwan sosial-humaniora melakukan banyak penelitian, menghasilkan disertasi, kajian ilmiah, tulisan jurnal, memberi penjelasan, membongkar konstruksi yang menyesatkan tentang identitas manusia berdasarkan asal-usul. Masyarakat mendapatkan penjelasan, jawaban, dan ketenteraman.
Universitas bekerja sangat erat tidak hanya dengan industri, tetapi juga dengan lembaga pemerintah, parlemen, lembaga peradilan, dan masyarakat sipil. Jejaring ini menyebabkan derap universitas bersinergi dengan tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Nomenklatur ilmu sudah lama hampir tidak berbatas. Suatu ilmu berkembang keluar dari batas disiplin primordialnya, bertemu dengan ilmu-ilmu lain, dan melahirkan ilmu baru lintas disiplin. Generik ilmu baru bertumbuh, fokus lembaga penelitian silih berganti didirikan menggantikan yang dianggap usang.
Kemajuan ilmu ditopang tata kelola universitas yang baik. Lembaga di universitas adalah unit akademik, bukan unit administratif. Dosen dan mahasiswa bisa dengan tenang bekerja tanpa hambatan administrasi. Urusan administrasi akademik dan keuangan dijalankan tenaga profesional yang saling terhubung dengan jaringan digital sehingga mudah diakses, transparan, dan akuntabel. Jabatan struktural universitas ditawarkan ke siapa saja yang bersedia, bahkan kepada universitas lain. Jabatan dekan, misalnya, ditawarkan secara bergantian dengan semangat kolegialitas. Hampir tak ada politik di situ.
*Universitas kita*
Kemampuan merespons kebutuhan masyarakat butuh perubahan paradigma keilmuan yang kian lintas disiplin. Di negara lain, misalnya, sudah ada jurusan ”Hukum, Sains dan Teknologi” atau ”Hukum dan Kesehatan”. Seandainya terjadi di sini, dapat dibayangkan akan timbul ”keguncangan”. ”Hukum, Sains dan Teknologi” itu induk ilmunya milik Fakultas Hukum, Fakultas MIPA, atau Fakultas Teknik? ”Hukum dan Kesehatan” itu milik Fakultas Hukum atau Fakultas Kedokteran?
Pertanyaan kedua, apakah Kementerian Ristek dan Dikti memperbolehkan dibuatnya jurusan baru yang nomenklaturnya tidak ada? Jika diakreditasi, apakah aksesornya bisa menerima? Pertanyaan ketiga, mereka yang diluluskan dari bidang-bidang interdisiplin tersebut nanti berkariernya di mana karena ilmunya tidak linear, apa bisa naik pangkat?
Tampaknya karena cara berpikir monodisiplin, linear, sudah seperti fosil, ilmuwan sukar untuk ke luar dari zona nyamannya. Mereka khawatir kehilangan identitas paradigmatik keilmuannya dan sangat menjaga agar ilmunya tidak ”tercemar” ilmu lain. Tidak mau belajar dari peraih Nobel dunia, yaitu para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu yang berkolaborasi untuk memecahkan suatu persoalan. Para hakim konstitusi pun sebenarnya perlu memiliki pengetahuan yang sangat luas menyangkut di antaranya energi dan pertambangan, teknologi digital, ilmu kesehatan, serta isu-isu kemanusiaan yang kompleks agar bisa menghasilkan keputusan yang mengaktualisasi konstitusi dalam keadilan substansial warga masyarakat.
Sungguhpun ada begitu banyak orang pintar, berdedikasi dan berintegritas di kampus, tetapi ada kesulitan untuk maju secara maksimal. Hambatan struktural terletak pada tumpang-tindihnya berbagai peraturan dan prosedur administrasi. Kedua adalah kurang tumbuhnya budaya kerja sama antara universitas dengan industri dan lembaga pemerintah, termasuk lembaga hukum. Pelaku industri bahkan membuat universitas sendiri, sementara lembaga pemerintah membuat penelitiannya sendiri; alih-alih menjadikan universitas yang sudah ada sebagai tulang punggung penelitian, yang melahirkan temuan paling berkualitas dan melampaui zamannya. Ketiga adalah kurang tumbuhnya budaya untuk terbuka terhadap perubahan dan kerja sama.
Li Lanqing, mantan Perdana Menteri China, dalam bukunya Education for 1,3 Billion (2003), mendeskripsikan tentang reformasi pendidikan di China dengan visi menghasilkan manusia yang berkarakter, yaitu mampu bekerja sama. Magna Charta Universitatum 1988, yang ditandatangani 805 universitas dari 85 negara, juga mencanangkan universitas sebagai lembaga yang harus jauh dari kekuasaan dan uang karena fungsinya sangat khusus, yaitu memproduksi ilmu pengetahuan, penjaga kebenaran. Budaya yang harus dikembangkan adalah kolegialitas.
*Menyingkirkan hambatan*
Namun, tampaknya cara berpikir monodisiplin mendikotomi ”kita dan mereka”, yang begitu kuat, memengaruhi tata laku organisasi dan keseharian lingkungan kampus. Dosen yang sudah puluhan tahun mengabdi di suatu fakultas dan universitas, masih bisa dianggap sebagai ”orang lain” hanya karena lulus sarjananya (S-1) tidak dari situ. Apalagi, apabila ilmunya tidak linear dengan fakultasnya, betapapun dedikasi dan kontribusinya dalam mengembangkan studi lintas disiplin bagi kemajuan ilmu di fakultasnya, label sebagai ”orang luar” tetap melekat dengan segala implikasinya.
Anehnya, hal ini terjadi ketika universitas tetangga, misalnya di Singapura, yang menduduki peringkat atas dunia, sudah membuka berbagai lini jabatan dan lembaga universitas kepada orang terbaik dari segala penjuru dunia. Sungguh mengherankan imparsialitas ilmu pengetahuan tidak terefleksi dalam cara berpikir (budaya) para akademisi kita.
Dalam situasi ini, tidak mengherankan jika universitas tidak peka ketika paham populis konservatisme leluasa masuk ke dalam kampus. Politik identitas telah biasa menjadi dasar dalam perekrutan berbagai lini jabatan di kampus, apalagi proses pemilihan pimpinan fakultas dan universitas. Politik identitas tentang siapa ”kita” dan ”mereka”, hubungan pertemanan, dan bahkan aliansi politik praktis lebih mengemuka dibandingkan karakter kompetensi, kemampuan memimpin, dan integritas dalam memilih pimpinan.
Harapan Presiden Jokowi menjadikan universitas sebagai penghela kemajuan bangsa serta responsif terhadap perkembangan dunia dan kebutuhan masyarakat tampaknya sukar terwujud apabila berbagai hambatan di atas tidak disadari keberadaannya oleh semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan tinggi dan sivitas akademika.