Malang, 11 Agustus 2025 – Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) bekerja sama dengan Sungkyunkwan University, Korea Selatan, sukses menggelar Korea-Indonesia Joint Conference on Public Policy and Governance pada Senin, 11 Agustus 2025. Acara ini diawali dengan kunjungan rombongan Sungkyunkwan University ke lingkungan FIA UB, dilanjutkan sambutan oleh Dekan FIA UB, Prof. Dr. Hamidah Nayati Utami, M.Si., serta opening speech sekaligus promosi program HUSS oleh Prof. Park Hyeong-Jun. Kegiatan kemudian berlanjut dengan penandatanganan Memorandum of Agreement (MoA) antara kedua institusi. Sesi utama berupa special lecture menghadirkan tiga narasumber, yaitu Prof. Kwon Gi-heon, Prof. Park Hyeong-Jun, dan Prof. Dr. M.R. Khairul Muluk, S.Sos., M.Si., dengan Dr. Alfi Haris Wanto, S.AP., M.AP., M.MG. sebagai moderator. Diskusi yang berlangsung mencakup topik-topik strategis mulai dari inovasi pemerintahan digital, penanganan krisis demografi, hingga pengembangan pariwisata berkelanjutan, yang kesemuanya relevan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Prof. Kwon Gi-heon dari Sungkyunkwan University memaparkan materi bertajuk Globalization, Innovation & Leadership Challenges yang menyoroti pentingnya inovasi digital untuk memperkuat tata kelola pemerintahan. Beliau menggarisbawahi rencana aksi yang mencakup peningkatan anggaran implementasi e-Government, rekrutmen SDM dengan keahlian tinggi di bidang ICT, serta pelatihan sikap dan keterampilan digital bagi aparatur negara. Fokus utamanya adalah membangun Korean Smart E-Government melalui jaringan ICT berkecepatan tinggi, digitalisasi arsip pemerintahan, dan infrastruktur yang mendorong terciptanya pemerintahan digital yang ramping namun efektif. Tujuan akhirnya tidak hanya pada efisiensi administrasi, tetapi juga peningkatan kualitas hidup masyarakat, selaras dengan target SDG 9 (Infrastruktur) dan SDG 16 (Institusi yang kuat).
Selanjutnya, Prof. Park Hyeong-Jun mengupas tuntas isu krisis demografi yang dihadapi Korea Selatan, khususnya rendahnya tingkat kelahiran yang mencapai rekor terendah dunia. Fenomena ini memicu ancaman “kepunahan lokal” di berbagai daerah, diukur melalui Local Extinction Risk Index yang membandingkan populasi perempuan usia produktif dengan jumlah penduduk lanjut usia. Sebagai respons, pemerintah Korea membentuk Local Era Committee dengan lima pilar strategis: desentralisasi berani, reformasi pendidikan, pertumbuhan berbasis inovasi, spesialisasi lokal, dan kesejahteraan berbasis kebutuhan masyarakat. Implementasi strategi ini difokuskan melalui empat zona khusus: Zona Pengembangan Kesempatan, Zona Pendidikan Gratis, Zona Konvergensi Perkotaan, dan Zona Budaya yang bertujuan membangkitkan vitalitas daerah dari sisi ekonomi, pendidikan, gaya hidup, hingga identitas budaya, sejalan dengan SDG 4 (Pendidikan), SDG 8 (Pekerjaan layak), dan SDG 11 (Kota berkelanjutan).
Dari pihak Indonesia, Prof. Dr. M.R. Khairul Muluk, S.Sos., M.Si. memaparkan kajian Tourism Development in the New Local Government dengan mengambil pembelajaran dari dinamika sistem pariwisata Kabupaten Pangandaran. Beliau menjelaskan bahwa pengembangan pariwisata berkelanjutan dimulai dari pemetaan potensi wisata, pengembangan destinasi, hingga terbentuknya industri pariwisata yang kuat. Mengacu pada konsep 5A (Attractions, Activities, Accessibility, Accommodation, Amenities), Prof. Khairul menekankan pentingnya daya tarik yang khas, ragam aktivitas wisata, aksesibilitas yang mudah, standar akomodasi yang memadai, serta fasilitas penunjang yang lengkap. Lebih jauh, beliau menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat lokal merupakan kunci keberlanjutan, di mana partisipasi aktif warga dapat memastikan keberlanjutan manfaat ekonomi sekaligus menjaga kelestarian budaya dan lingkungan. Masyarakat berperan sebagai pelaku usaha wisata, penjaga warisan alam dan budaya, serta mitra strategis pemerintah dan sektor swasta dalam menciptakan pertumbuhan yang inklusif, selaras dengan prinsip SDGs.
Setelah ketiga narasumber memaparkan materi, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang interaktif. Peserta dari kalangan dosen, mahasiswa, dan peneliti aktif mengajukan pertanyaan seputar strategi implementasi kebijakan, peluang kolaborasi riset, hingga tantangan penerapan SDGs di masing-masing negara. Diskusi berlangsung dinamis, memberikan ruang bagi pertukaran ide yang lebih mendalam antara narasumber dan audiens.
Konferensi ini menjadi momentum penting bagi kedua negara untuk saling belajar dan memperkaya perspektif dalam merumuskan kebijakan publik yang inovatif, inklusif, dan berkelanjutan. Melalui dialog akademik yang terbuka, diharapkan terjalin kerja sama riset dan pengembangan kebijakan yang dapat membantu pemerintah, baik di Korea Selatan maupun Indonesia, dalam mencapai target-target SDGs secara lebih efektif. FIA UB berkomitmen untuk terus menjadi ruang kolaborasi internasional yang mendorong pertukaran pengetahuan demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang adaptif dan responsif terhadap tantangan zaman.