Laboratorium Politik dan Tata Pemerintahan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) menyelenggarakan Lokakarya Nasional yang membahas sebuah perdebatan yang masih terus berlangsung hingga kini di ruang perpolitikan nasional, yaitu UU No. 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota pada Senin (1/12) kemarin. Laboratorium yang bernaung di bawah Jurusan Administrasi Publik tersebut menghadirkan tokoh-tokoh yang berkompeten untuk membahas isu ini, di antaranya Abdul Hakim Naja (Ketua Panitia Kerja RUU Pilkada DPR RI), Haryadi (Dosen FISIP Universitas Airlangga), dan M.R. Khairul Muluk (Pakar Administrasi Pemerintahan).
Menurut Prof. Bambang Supriyono, Dekan FIA UB, acara ini sangat menarik dan bermanfaat untuk mahasiswa dan siapa saja yang mengikuti perkembangan seputar tata cara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Meskipun mahasiswa di FIA UB lebih dididik untuk masuk dalam tataran managerial approach, mereka juga tetap harus tahu legal approach dari perdebatan tentang sistem tersebut untuk mewujudkan negeri yang adil dan makmur. “Oleh karenanya mohon penjelasan dari bapak-bapak mana yang terbaik yang sesuai dengan esensi dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat,” tandasnya.
Pada acara yang dimoderatori oleh Dr. Luqman Hakim, yang juga Ketua Program Studi S1 Administrasi Pemerintahan, Haryadi lebih banyak mengungkapkan seputar kelebihan Pilkada Langsung dibanding Pilkada Tidak Langsung. Menurut pria yang juga tergabung dalam Tim Transisi Pemerintahan Jokowi-JK, Pilkada Langsung lebih memenuhi prinsip dasar dari demokrasi itu sendiri, yakni partisipasi rakyat seluruhnya dalam menentukan pemimpinnya sendiri. Sementara itu, Abdul Hakim Naja mengulas tentang perjalanan tata cara pemilihan dan pengangkatan kepala daerah di Indonesia sejak era Orde Lama. Menurut anggota Fraksi PAN tersebut, pemilihan secara tidak langsung bukanlah sebuah pelanggaran konstitusi. Bahkan, pada tahun 1957, Presiden Soekarno pernah mencabut UU yang mengatur tentang Pilkada Langsung dan menggantinya dengan Pilkada melalui perwakilan rakyat di DPRD.
Di sesi berikutnya, M.R. Khairul Muluk mengungkapkan bahwa Pilkada Langsung memiliki beberapa kelemahan dalam penerapannya, di antaranya inefisiensi biaya. Dari hasil pengamatannya, sebanyak 10-20% APBD terpakai hanya untuk pemilihan kepala daerah. Bahkan di Jawa Timur, Pilkada Gubernur yang lalu menghabiskan dana hingga Rp 1 Triliun. Selain itu, patronase elit lokal juga masih sangat kuat, yakni mutlaknya dukungan dari elit lokal atau nasional yang diiringi dengan “ijon” atau “kompensasi” proyek pembangunan daerah bila seorang calon menang. Kemudian, pada saat ini, pemilih kita masih cenderung pragmatis, sehingga Pilkada Langsung memerlukan middle class yang kokoh. “Dulu saya mendukung Pilkada Langsung, tapi melihat perkembangan terkini penerapannya perlu dievaluasi lebih dalam,” imbuh pria yang juga menjabat sebagai Pembantu Dekan bidang Akademik FIA UB ini. (ALA/FIA)