Resensi : Menjahati Hati Nurani (Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer)
Pangemann, seorang Komisaris Polisi yang jabatannya naik tapi peperangan di dalam batinnya semakin dekat pada puncaknya. Ia utamakan jabatan, kekuasaan dan harta dibanding hati nurani. Pada saatnya, ia merasa lelah sebab telah kehilangan semua yang dimiliki, yaitu prinsip, istri dan anak-anak, serta harga dirinya. Tunduk pada kolonial tak bisa dilawan, sebab kolonial lebih kuat dan berkuasa. Maka Pangemanann memilih patuh, diam, bekerja dalam tulisan demi untuk menjatuhkan Minke ke dasar jurang.
Novel sebelumnya berjudul, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah, telah Pangemanann hafal seluruhnya diluar kepala, atau jangan-jangan dia yang menulisnya. Ia begitu kagum dengan sosok Minke yang dianggap sebagai guru dan pahlawannya. Tapi sayang Minke terlalu berbahaya bagi pemerintah kolonial, maka sejatinya ia harus dipaksa merelakan kebebasannya. Alasannya sederhana Minke melawan pemerintah, dan siapapun yang melawan, mau atau tidak harus dipaksa tunduk. Kebebasan berpendapat, bersuara, berorganisasi, semuanya dirampas darinya. Minke terkurung di pembuangan selama 5 tahun.
Semua ini terjadi karena Pangemanann. Menelaah arsip menjadi tugasnya. Seluruh pergerakan di Hindia Belanda ada dalam pengawasannya, termasuk Minke dan penerus-penerusnya. Seutuhnya mereka ada di dalam Rumah Kaca. Pangemanann hanya tinggal duduk santai di ruangan, sembari memandang ke arah rumah kaca kecil itu dengan tersenyum. Informasi-informasi penting ada dalam genggamannya. Analisisnya dijadikan sebagai acuan untuk tindakan Tuan Besar Gubernur Jenderal berikutnya.
Minke, sosok yang menginspirasi manusia itu hidupnya berakhir menyedihkan. Ia meninggal akibat sakit, tak bisa disembuhkan sebab dokter diancam katakan kebohongan. Segalanya telah direnggut darinya, kecuali martabatnya. Minke, seorang pelopor yang melawan gurbermen menggunakan pendekatan jurnalistik yang fokus pada pikiran dan tulisan mendukung dan memperjuangkan hak pribumi, serta menentang kesombongan dan kedudukan pemerintah dan para pegawainya. Pangemanann dalam hatinya sesungguhnya merasa bersalah, tapi anggapannya itulah takdir Tuhan. Hati nuraninya telah dijahati, sebab ketakutan dan kemunafikan pribadinya.
Novel ini berbeda dari para pendahulunya. Sudut pandang yang berganti dari Minke menjadi Pangemanann menjadikan seluruh cerita terasa berubah, walaupun tetap ada beberapa kejadian yang sama. Cerita yang tak terkuak diungkapkan disini. Semuanya pelan-pelan saling berhubungan. Menjalin suatu cerita dengan akhir penyesalan bagi Pangemanann, penyesalan bagi hidupnya. Dimana ia memilih jalan yang salah, hati nuraninya dijahatinya. Konsekuensi dari pilihan salahnya menjadikan sesak dalam hatinya.
Oleh Aldi Rahman Untoro
(SE Unit Lab. Perpustakaan dan Arsip)
Courtesy to Pramoedya Ananta Toer
Deskripsi Bibliografis: https://goo.gl/TJRdYk