Mengulik Literasi melalui Bedah Buku Dongeng Panjang Literasi Indonesia bersama Arwin Anindyka
Mengulik dunia literasi di Indonesia ibarat fenomena gunung es. Pada permukaan, literasi selama ini masih dianggap sebatas kemampuan membaca dan menulis. Seseorang akan dikatakan literat apabila ia telah mampu mengeja aksara dan membubuhkannya dalam bentuk tulisan. Nyatanya, jauh di bawah permukaan tersebut, literasi lebih luas daripada itu. Inilah yang diuraikan secara naratif oleh Yona Primadesi dalam bukunya “Dongeng Panjang Literasi Indonesia”.
Pemaknaan literasi yang sekadar baca dan tulis, dicontohkan oleh Arwin Anindyka sebagai pembedah buku dalam acara Bedah Buku yang diselenggarakan Fadel Muhammad Resource Center (FMRC) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) pada Kamis, 15 Februari 2018. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya persyaratan untuk masuk Sekolah Dasar (SD), calon siswa harus bisa membaca dan menulis. Sehingga banyak bermunculan lembaga kursus atau les bagi anak Taman Kanak-kanak (TK). Padahal, masa TK adalah fase pembelajaran bagi anak untuk menikmati dunianya. Menurut Arwin, selain membahas permasalahan literasi, buku ini juga merupakan pedoman untuk mendidik anak.
Arwin menyampaikan bahwa pada buku ini, ada banyak aspek literasi di samping aspek baca-tulis yang kerap diabaikan, yakni aspek lokalitas. Inilah yang tidak dimasukkan dalam standar pengukuran literasi menurut negara-negara di luar negeri. Literasi juga berbicara tentang budaya. Budaya yang kental di Indonesia sejak zaman nenek moyang adalah budaya lisan. Melalui literasi lisan, petani dan nelayan kita yang walaupun buta huruf, tetap dapat menerima informasi. Padahal mereka tidak bisa membaca, tapi mereka bisa mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada anak mereka. Mereka pun tahu tentang kebutuhan mereka, bagaimana cara tanam yang baik, kapan jangka waktu musim tanam, kapan jangka waktu panen. Sedangkan di Minang, literasi dilestarikan melalui surau.
Lantas, bagaimanakah menumbuhkan literasi dengan aspek lokalitas? Alumnus Program Studi Ilmu Perpustakaan FIA UB dan yang kini aktif di Ruang Belajar Aqil ini menjelaskan, literasi memerlukan empat aspek, yakni mengetahui kebutuhannya apa, bagaimana cara mendapatkannya, menyimpannya, dan kemudian menggunakannya. Literasi adalah seperangkat kemampuan yang dimiliki seseorang, hingga ia mampu mencari tahu apa yang dibutuhkannya, mengelolanya, agar pengetahuan itu bisa diketahui orang lain. Banyak survei yang menggunakan kemampuan membaca, menulis, sebagai acuan. Padahal kemampuan itu belum sempurna, tanpa memaknai apa yang dibaca.
Begitupun halnya dengan literasi anak. Orang tua menstimulus agar nilai anak mereka tinggi. Hal ini menjadi motivasi karena nilai yang bagus akan mendapat hadiah. Tapi orang tua seharusnya tidak hanya berfokus pada nilai akademis, melainkan komunikasi di masyarakat. Orang tua pun sering skeptis pada pergaulan anak di luar rumah yang berujung pada pengurungan anak di dalam rumah. Ini akan membelenggu kemampuan anak beradaptasi. Ia tidak akan punya teman sebaya, yang justru penting bagi kehidupannya.
Anak akan melampiaskan egonya ke dalam gawai yang justru berakibat buruk bagi perkembangan psikologi anak. Salah satu fenomena yang patut disayangkan adalah hilangnya permainan tradisional. Padahal dalam permainan tradisional terdapat nilai-nilai pembelajaran. Seperti congklak, yang bisa membantu anak dalam berhitung.
Yona di dalam bukunya, menuturkan bahwa salah satu cara edukatif dan atraktif untuk menarik anak membaca buku yakni melalui teater dan mendekatkan sastra kepada anak. Mereka diajak untuk membaca, kemudian menceritakan kembali isi buku dengan gayanya sendiri. Anak tidak hanya membaca, tapi belajar mengerti substansi cerita.
Pemerintah telah menjalankan berbagai program pemberantasan buta huruf untuk meningkatkan literasi, misalnya dengan menyediakan banyak buku untuk masyarakat. Namun, di balik ketersediaan buku tersebut, yang terpenting adalah kebutuhan informasi masyarakat setempat. Arwin mempertanyakan terkait hal ini. Kegiatan mengumpulkan buku memang bagus, tapi ada hal yang dilupakan di sana. Apakah buku tersebut dibutuhkan oleh masyarakat? Buku yang terkumpul misalnya didominasi oleh buku-buku pelajaran. Masyarakat yang di desa tersebut kebanyakan petani, apakah butuh buku pelajaran?
Pada konteks wilayah Malang, misalnya. Kebutuhan literasi masyarakat terfokus pada pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan kelembagaan. Pendampingan pendidikan misalnya les gratis, pelatihan dan sebagainya yang mengandung unsur mendidik. Ekonomi mencakup penyediaan lapangan kerja, lantaran banyak orang tua yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Akibatnya, anak dibiarkan tak terurus dan tumbuh tanpa pendampingan orang tua. Kesehatan contohnya kreasi bekal anak, yang mengupayakan gizi anak tetap terpenuhi. Dan pendampingan kelembagaan meliputi manajemen organisasi agar suatu komunitas atau organisasi tidak mengalami kegoyahan ketika mengalami permasalahan, baik dari internal maupun eksternal. Upaya dalam memenuhi kebutuhan literasi masyarakat ini tidak hanya datang dari pemerintah, melainkan juga terus digalakkan oleh masyarakat, salah satunya yakni Taman Baca Masyarakat (TBM).
Oleh : 1. Aldi Rahman Untoro (SE FMRC)
2. Zendy Titis (Mhs. Ilpus FIA UB)