Sebagai salah satu professor yang tergolong muda di Indonesia yang terlahir di desa terpencil di Kabupaten Tulungagung pada hari Minggu Wage tanggal 10 juni 1951 di Desa Pelem, Campur Darat. Yogi adalah putra kedua dari sembilan bersaudara dari pasangan Sukaji dan Tarmini. Sejak dari buaian sang ibunda, Yogi kecil memang sudah menampakkan pertanda bahwa dia kelak akan menjadi seorang pemimpin. Dia tidak suka main-main atau 'ngluyur' sebagaimana anak pedesaan pada umumnya.
Prof.Dr.Ir Yogi Sugito ternyata punya kisah pahit juga di masa kecilnya. Ia sudah menyandang sebutan Yatim sejak usia dua tahun karena ditinggal wafat ayahanda tercintanya. Kenangan indah justru justru dialami bersama ayah tiri yang membesarkan Yogi kecil sampai dewasa. Satu hal yang tak terlupakan adalah pesan beliau tentang pengertian orang sakti. “Orang sakti bukanlah orang yang ilmunya tinggi dan digdaya melainkan orang yang bisa berlaku baik dan benar.
Kira-kira setahun setelah meninggalnya ayahanda kandung, ibunda yang saat itu masih muda banyak yang menawarkan diri sebagai pendamping hidup berikutnya. Diantara sekian yang melamar jatuhlah pilihan pada seorang sosok yang tak lain adalah Lurah Desa Pojok, Campur Darat dan beliau bernama Moechalil. Sosok inilah yang nantinya sangat berpengaruh besar dalam kesuksesan karir Prof.Dr.Ir. Yogi Sugito. Karena bakat yang kuat dari ayahanda kandung sebagai seniman, tidak heran bila Prof.Dr.Ir Yogi Sugito mewarisi darah seniman sang ayahanda. Penjaringan siswa berprestasi bidang non-akademik, juga dilakukan untuk bidang seni yang lain termasuk juga bidang olahraga. Inilah satu bentuk kepedulian Yogi terhadap pengembangan olaharaga, seni dan budaya.
Saat ini kalau kita melihat ada pelajar yang 'ngonthel' alias bersepeda seakan-akan menjadi pemandangan yang langka. Akan tetapi hal ini tak berlaku bagi sang rektor ini, sejak SMP hingga SMA ia sangat akrab dengan yang namanya sepeda. Bahkan bisa dibilang sepeda adalah kakinya. Yogi muda sangat bersemangat menjalani masa-masanya saat menjadi mahasiswa. Ia sadar betul betapa berharganya peluang yang diberikan kepadanya untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Waktu demi waktu ia memanfaatkan untuk melahap semua materi-materi kuliahnya di Fakultas Pertanian UB. Seiring berjalannya waktu yogi memutuskan untuk menikah di usia 25 tahun. Pendampingnya adalah Enny Suhartini, gadis yang hampir setiap hari ia temui di rumah kos Yogi di jalan terusan Surabaya 70. Dia adalah putri ibu kos yang bernama Sulastri. Mereka melangsungkan pernikahannya pada bulan Juni 1976 dalam suasana penuh kesederhanaan.
Dalam perjalanan karirnya, setelah melalui berbagai pertimbangan dan arahan dari ayahanda, pilihan jatuh sebagai dosen di UB. Kepak sayapnya berlanjut di kampus IPB sebagai dosen, terus merangkak menuju pemilihan rektor UB 1, yang kemudian menang mutlak diperiode II. Dengan mencanangkan diri sebagai entrepreneurial university yang bertaraf internasional, diharapkan peran UB sejajar dengan universitas terkemuka di asia, bahkan tingkat dunia.
Untuk membuat sebuah perguruan tinggi menjadi favorit di mata masyarakaat, tidak cukup hanya mengandalkan kualitas saja. Prof.Dr. Ir. Yogi sugito selama menjadi pimpinan di UB telah menunjukkan kemajuan kampus biru ini dengan berbagai perubahan dan prestasi. Buah dari itu semua menjadikan kampus biru ini menjadi sosok Perguruan Tinggi yang bergengsi dan favorit di mata masyarakat. (Internship FMRC FIA UB /Yunita Karina Putri).
Courtesy to : Prof.Dr.Ir. Yogi Sugito Buku ini tersedia disini