Texts
Pelaksanaan Reses Anggota DPRD Dalam Menjaring Aspirasi Masyarakat di Daerah Kepulauan: Studi pada DPRD Popinsi Maluku Utara tahun 2020/2021
Pasca reformasi di Indonesia telah mendorong perubahan sistem pemerintahan yang demokratis dan terjadinya demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta telah menyebabkan perubahan pada sebagian besar sendi kehidupan berbangsa Indonesia. Komponen utama dalam perubahan ini, yaitu demokratisasi, desentralisasi, dan pemerintahan yang bersih telah mendorong pembentukan tatanan baru untuk hubungan antara pemerintah, masyarakat umum, dan dunia bisnis, hubungan pemerintah antara pusat dan daerah. Seperti terciptanya partisipasi masyarakat, akuntabilitas, dan transparansi dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan pembangunan serta banyak dimensi demokratisasi yang berkembang antara lain bertambahnya jumlah daerah otonom, berubahnya sistem pengisian pejabat publik, maupun bertambahnya jumlah partai politik (Wasistiono & Wiyoso, 2009).
Dinamika demokrasi telah mendorong perubahan dan perkembangan sistem pemerintahan di daerah. Dalam negara seperti Indonesia yang pendudukya terdiri lebih dari 300 etnis dan mendiami lebih dari 17.000 pulau, sangat sulit dikelola secara secara sentralistik. Dengan kata lain, desentralisasi adalah suatu condition sine qua non (Wasistiono & Wiyoso, 2009). Pada pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan; Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi berdasarkan asas otonomi. Melalui prinsip desentralisasi, pemerintah pusat telah melimpahkan kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi daerah; dan Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Otonomi daerah menempatkan DPRD sebagai lembaga representasi rakyat yang paling berperan dalam menentukan arah dan proses demokratisasi di berbagai wilayah. Tentunya optimalisasi peran DPRD dalam hal ini juga harus didukung oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana kebijakan di daerah otonomi. Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah dan Pasal 96 ayat (1) disebutkan bahwa DPRD provinsi mempunyai fungsi: a. pembentukan Perda provinsi; b. anggaran; dan c. pengawasan. Hal ini membuat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) secara konsisten semakin diminta oleh masyarakat untuk memiliki kemampuan yang handal dalam menggerakkan roda pemerintahan yang mengarah pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Tuntutan ini didasarkan pada kehendak masyarakat supaya DPRD bisa memperhatikan, menampung, menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi konstituennya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk memenuhi hal tersebut dibutuhkan kinerja DPRD yang optimal.
Pelaksanaan ketiga peran dan fungsi DPRD tersebut harus bisa menjaring aspirasi masyarakat sebagai upaya mendekatkan pelaksanaan kebijakan dengan kebutuhan masyarakat. Aspirasi masyarakat merupakan harapan dan tujuan masyarakat demi keberhasilan pada masa depan dalam kaitannya dengan penghidupan mereka, baik secara perseorangan maupun kelompok. Masyarakat harus dipertimbangkan dalam perumusan rencana dan kebijakan oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan bukan hanya konsekuensi dari kerjasama antara pemerintah daerah dan DPRD. Selain itu, penting juga untuk menguatkan peran stakeholder dan pers di daerah guna mendorong DPRD yang lebih aspiratif (Aswela et al., 2021).
Rozzoli menyebutkan sistem pemerintahan yang demokratis membutuhkan kapasitas parlemen yang terintegrasi dengan idealisme, naluri politik, kemajuan, sumber daya manusia yang baik, kemampuan mentransformasikan kebijakan yang lebih luas dari semua lapisan masyarakat dan mendukung inisiatif dalam melayani publik (Deni & Machmud, 2020).
Para anggota DPRD idealnya mampu berkomunikasi dan bernegosiasi memfasilitasi kepentingan rakyat dalam pembuatan kebijakan melalui mekanisme formal dan mengukuhkan kinerja pembuatan kebijakan publik yang menguntungkan publik. Dengan demikian aktivitas DPRD merupakan sebuah pekerjaan mulia nan agung, yang lahir dari keterpanggilan nilai luhur kebajikan Tuhan dan manusia dalam ideologi partai, dirumuskan dalam ide-ide program yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Wakil rakyat yang baik adalah yang terus menerus berbagi informasi, mendengar langsung permasalahan dari masyarakat dan membangun komunikasi dalam suasana keakraban dan kekeluargaan.
Perencanaan yang baik yaitu yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk ambil bagian (berpartisipasi). Partisipasi harus menjadi arus utama dalam merepresentasikan perubahan dalam proses dan tahapan pembangunan di daerah. Karena hakikat otonomi daerah yaitu semakin dekatnya sistem pengambilan kebijakan dengan masyarakat dan semakin besar peluang partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan (Aswela et al., 2021), seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 41. Partisipasi Masyarakat adalah peran serta warga masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan kepentingannya dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 12 bahwa Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keharusan anggota DPRD guna menyerap aspirasi masyarakat juga diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Pasal 81 poin i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Demikian juga termuat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 96 ayat (3) Dalam rangka melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi menjaring aspirasi masyarakat; Pasal 108 poin i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan Pasal 132 ayat (3) poin j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat.
Menjaring aspirasi masyarakat adalah kunci kesuksesan bagi anggota DPRD sebagai representasi masyarakat. Mengartikulasikan dan mewujudkan kepentingan masyarakat merupkan salah satu dari fungsi DPRD (Desvera S. A et al., 2019; Maulina et al., 2018). Berbagai hasil penelitian menggambarkan tentang gagasan aspiratif masyarakat telah teruji dalam berbagai arena politik lokal di Indonesia dan selalu menginspirasi kepemimpinan politik yang profesional serta memiliki kapasitas politik yang unggul (Deni & Machmud, 2020). Salah satu media bagi masyarakat untuk menyampaikan gagasan aspiratifnya yaitu melalui kegiatan reses anggota DPRD.
Reses merupakan kegiatan komunikasi dua arah yang dilaksanakan oleh anggota parlemen dengan konstituen dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya melalui kunjungan kerja berkala ke daerah pemilihannya baik secara perseorangan maupun secara berkelompok. Untuk menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi serta pengaduan masyarakat demi mewujudkan rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan Masa Reses merupakan masa anggota parlemen melakukan kegiatan kedewanan di luar masa sidang di luar gedung parlemen.
Menurut Lusia Palulungan, masa reses merupakan masa anggota DPR/DPRD melakukan aktivitas kedewanannya di luar gedung atau di luar kantor. Masa reses ialah waktu dimana anggota DPR/DPRD melaksanakan kunjungan ke daerah pemilihannya untuk menemui konstituen dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai wakil masyarakat. Dalam artian reses dilaksanakan dalam rangka anggota DPR/DPRD menjalankan fungsinya terkait legislasi, penganggaran, dan pengawasan serta pertanggungjawaban kerja DPR kepada masyarakat di daerah pemilihan Anggota. Reses dipergunakan untuk mengunjungi daerah pemilihan anggota yang bersangkutan dan menyerap aspirasi masyarakat. Sedangkan menurut Solikhin (2009) reses dan juga masa reses merupakan masa dimana anggota DPR dan anggota DPRD melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar kantor DPR/DPRD. Untuk melaksanakan kunjungan kerja, baik secara perorangan maupun berkelompok (Palulungan et al., 2019).
Masa reses ini dipergunakan oleh DPRD secara perseorangan ataupun kelompok untuk mengunjungi daerah pemilihannya untuk menyerap aspirasi masyarakat (Maulina et al., 2018). Masa reses merupakan bagian dari masa persidangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 228 ayat (3) Tahun sidang dibagi dalam masa persidangan; dan (4) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPR, masa reses ditiadakan.
Dalam PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota, Pasal 87 ayat (3) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari 1 (satu) periode keanggotaan DPRD, masa reses ditiadakan; (4) Dalam hal pelaksanaan masa persidangan bersamaan dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban DPRD yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan, pelaksanaan reses dilaksanakan setelah selesainya pelaksanaan tugas dan kewajiban yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini juga diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi Maluku Utara Nomor 01 Tahun 2019 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Maluku Utara Pasal 1 ayat 27. Masa Reses adalah masa DPRD melakukan kegiatan di luar masa sidang di luar gedung DPRD.
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota Pasal 88 ayat (1), disebutkan bahwa Masa reses dilaksanakan: a. paling lama 6 (enam) Hari dalam 1 (satu) kali reses bagi DPRD kabupaten/kota; dan b. paling lama 8 (delapan) Hari dalam 1 (satu) kali reses bagi DPRD provinsi; (2) Untuk daerah provinsi bercirikan kepulauan dan/atau yang memiliki kondisi alam yang sulit dijangkau, masa reses dapat ditambah paling lama 6 (enam) Hari dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi.
Setelah melakukan penjaringan, setiap Anggota DPRD maupun secara kelompok wajib membuat laporan tertulis atau menyampaikan hasil dari pelaksanaan tugasnya pada masa reses tersebut. Kemudian hasil tersebut akan disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam rapat paripurna. Selanjutnya diserahkan kepada kepala daerah untuk disinergikan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah.
Mekanisme reses adalah salah satu instrumen yang mampu menghubungkan anggota DPRD dengan masyarakat yang diwakilinya, pada realitanya tidak sesuai dengan tujuan dan harapan. Meskipun reses merupakan kegiatan resmi dan diatur dalam undang-undang, di mana anggota DPRD melaksanakannya di konstituen di daerah pemilihannya. Namun, tidak ada pedoman teknis atau mekanisme yang dijadikan panduan pelaksanaan reses. Sehingga anggota DPRD memiliki kebebasan untuk melakukan reses, baik dari segi baik dalam teknis pelaksanaan reses maupun peserta yang diberikan undangan untuk menghadiri reses (Palulungan et al., 2019).
Lucia Palulungan dkk (2019) menyebutkan bahwa selama ini pelaksanaan reses telah mendapat kritik dari berbagai pihak. Karena reses dianggap tidak efektif karena reses dilaksanakan dalam bentuk rapat satu arah, anggota DPRD aktif berbicara di depan sementara konstituennya atau masyarakat hanya mendengarkan. Kalaupun ada peserta reses yang berbicara, itu terbatas pada orang-orang tertentu saja. Reses juga dianggap sebagai kegiatan elitis, karena orang yang terlibat itu terbatas dan tertentu, misalnya pemerintah daerah dan tokoh agama serta tokoh masyarakat. Sehingga aspirasi konstituen yang diserap dipastikan itu terbatas pada kelompok dan kepentingan elit saja.
Karena diatur dengan undang-undang dan pelaksanaannya dibiayai oleh negara, oleh beberapa anggota DPRD pelaksanaan reses dianggap sebagai kegiatan untuk menggugurkan kewajiban, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan harapan dan reses seringkali dituding sebagai aktivitas yang tidak bermanfaat, hanya pemborosan anggaran. Sedangkan masyarakat/konstituen yang diberi undangan reses, sekedar hanya melegitimasi dan memenuhi syarat untuk menyelesaikan administrasi reses. Bahkan, sering ada anggapan di masyarakat bahwa reses hanya sekedar jalan-jalan bagi anggota DPRD. Pelaksanaan reses yang seharusnya menghubungkan anggota DPRD dengan konstituennya dalam mekanisme pengawasan dan penyerapan aspirasi tidak terlihat. Padahal, reses merupakan media bagi anggota DPRD untuk melakukan pengawasan langsung terhadap pembangunan di daerah pemilihan dan menyerap aspirasi dari konstituen. Bagi konstituen, reses merupakan media dan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi secara langsung ke wakilnya di DPRD (Palulungan et al., 2019).
Pengembangan kepulauan adalah bagian dari integral pembangunan nasional. Namun, melihat masalah-masalah yang menonjol di daerah kepuluan seperti tidak adanya regulasi yang mendasari perkembangan pembangunan daerah kepulauan, keterbatasan infrastruktur dan transportasi yang menghubungkan kegiatan ekonomi pulau-pulau besar dan kecil serta keterbatasan pengelolaan sumber daya alam, kebutuhan untuk mempercepat pembangun. Pembangunan daerah kepulauan diharapkan dapat memberikan manfaat langsung dan tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat dan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah (Suawa, 2018).
Secara garis besar terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah kepulauan. Pertama, sebagian besar pulau merupakan daerah tertinggal dan banyak yang tidak berpenghuni. Kedua, keterbatasan pelayanan penyelenggaraan pemerintahan, pemberdayaan ekonomi dan sosial budaya, sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi. Ketiga, terjadinya kegiatan illegal dan penyelundupan, kegiatan yang tidak ramah lingkungan dan keamanan. Di sisi lain, potensi wilayah kepulauan kecil dari segi ekonomi, sosial, politik dan pertahanan Indonesia, terutama pulau-pulau kecil yang terletak di perbatasan. Keempat, keterbatasan peralatan, frekuensi dan personel keamanan di laut. Kelima, pasokan listrik yang tidak mencukupi. Keenam, akibat dari besarnya potensi sumber daya yang ada di laut adalah persoalan kewenangan pengelolaan wilayah laut yang menjadi perhatian serius berbagai pemangku kepentingan (Mawardi, 2009).
Problematika pembangunan di Indonesia, masih menjadi tantangan bagi beberapa pemerintah daerah, khususnya di daerah kepulauan, terutama dalam hal pelaksanaan kegiatan reses, salah satunya Provinsi Maluku Utara. Dalam beberapa tahun terakhir sangat terbatas informasi/penelitian yang menyajikan tentang pelaksanaan penjaringan aspirasi masyarakat oleh anggota DPRD pada masa reses di daerah kepulauan. Pada dasarnya telah ada peneliti yang telah melakukan penelitian terkait penjaringan aspirasi masyarakat melalui reses, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh: Aswela et al., (2021) di Provinsi Jambi untuk mengetahui peran DPRD dalam membangun partisipasi masyarakat di Kota Sungai Penuh; Maulina et al., (2018) di Provinsi Banten untuk mengetahui bagaimana penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh anggota DPRD Provinsi Banten pada masa reses yang dilaksanakan pada masa persidangan II tahun 2017/2018; Azzahri et al., (2021) di Provinsi Riau untuk mengetahui efektivitas penggunaan dana reses yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk kegiatan reses anggota DPRD Kota Pekanbaru dalam menyerap aspirasi masyarakat mengingat besarnya jumlah dana yang dikeluarkan untuk sekali masa sidang reses serta mengetahui faktor penghambat tercapainya efektivitas kegiatan reses; Desvera S. A et al., (2019) di Provinsi Jawa Tengah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tugas anggota DPRD Kabupaten Sukoharjo dalam penyerapan aspirasi masyarakat berdasarkan Undang Undang No. 23 Tahun 2014 dan apa saja kendala yang dihadapi oleh anggota DPRD Kabupaten Sukoharjo dalam pelaksanaan tugas serta bagaimana solusinya; Susanto et al., (2021) di Provinsi Sumatera Utara untuk menganalisis strategi penyerapan aspirasi melalui kegiatan reses Dapil Sumut 1; Lolowang (2020) Provinsi Sulawesi Utara akan mengkaji peran anggota DPRD Kabupaten Minahasa, khususnya anggota Fraksi PDI Perjuangan dalam menjalankan fungsi menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat Kabupaten Minahasa; Kurniasih & Rusfiana (2021) Provinsi Jawa Barat untuk menunjukkan fungsi reses anggota DPRD dalam mengartikulasikan aspirasi masyarakat Kabupaten Bandung.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan tersebut, diketahui bahwa belum ada yang menyajikan informasi secara komprehensif mengenai pelaksanaan reses daerah yang berbasis kepulauan, terutama tentang pelaksanaan reses di provinsi yang bercirikan kepulauan. Padahal ini sangat dibutuhkan oleh otoritas pengguna data dalam hal meramu kebijakan publik. Tetapi data/informasi mengenai pelakasanaan reses di daerah kepulauan ini belum ter-update atau bahkan sangat sedikit yang tersedia.
Oleh karena itu, penelitian tentang analisis pelaksanaan reses anggota DPRD Provinsi Maluku Utara dalam menjaring aspirasi masyarakat di daerah kepulauan sangat penting untuk dilakukan agar bisa untuk mengerti dengan baik, untuk memahami lebih terstruktur dan komprehensif tentang tantangan dan faktor-faktor yang mepengaruhi pelaksanaan penjaringan aspirasi masyarakat oleh anggota DPRD pada masa reses di daerah kepulauan, guna mempersempit jarak ketertinggalan dalam upaya pembangunan secara adil dan merata serta memberikan rekomendasi bagi pemerintah daerah maupun pusat dalam membuat kebijakan dimasa mendatang. Dengan kebijakan tersebut diharapkan bisa membuat pelaksanaan reses anggota DPRD dalam rangka mengakselerasi serta memaksimalkan pembangunan di daerah kepulauan.
Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis dan mendeskripsikan pelaksanaan reses anggota DPRD dalam menjaring aspirasi masyarakat dengan mengambil studi di Provinsi Maluku Utara. Alasan pemilihan Provinsi Maluku Utara sebagai lokasi penelitian adalah karena Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu provinsi berciri kepulauan di Indonesia dan hal ini dapat menjadi etalase pembangunan bagi daerah-daerah kepulauan lainnya yang berada di Indonesia. Sehingga, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih secara luas tidak hanya bagi Provinsi Maluku Utara, tetapi juga daerah lain yang bercirikan kepulauan di Indonesia.
Disamping itu, salah satu daerah yang memiliki permasalahan mendasar dalam proses perencanaan dan pembangunan daerah adalah Provinsi Maluku Utara. Pembangunan yang belum merata, menyebabkan permasalahan-permasalahan yang mendasar tentang kemiskinan yang belum teratasi. Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Maluku Utara bahwa salah satu problem pembangunan Provinsi Maluku Utara adalah masih banyaknya daerah yang belum tersentuh pembangunan. Kawasan pedalaman merupakan daerah yang secara geografis letaknya jauh dari pesisir pantai titik kondisi geografis yang demikian membuat kawasan pedalaman sangat tertinggal dari kawasan pesisir. Orientasi pembangunan yang masih mengutamakan wilayah pesisir sebagai titik sentuh kebijakan menjadikan disparitas antar ke antar kawasan pesisir dan pedalaman semakin besar (Bappeda, 2020).
Provinsi Maluku Utara merupakan daerah berbasis kepulauan yang terdiri dari 805 buah pulau besar dan kecil. Sekitar 82 pulau yang dihuni dan 723 pulau yang belum dihuni. Luas wilayah provinsi Maluku Utara 145.801,10 km² terdiri dari luas lautan 113.796, 53 km² atau 69,08% dari dan luas daratan 31.982,50 km² atau 30,92%. Provinsi Maluku Utara terdiri dari 8 Kabupaten dan 2 Kota dengan jumlah kecamatan sebanyak 116 dan desa/kelurahan sebanyak 1.197. Kabupaten Halmahera Selatan merupakan kabupaten dengan jumlah kecamatan terbanyak yaitu 30 sekaligus desa/kelurahan terbanyak yaitu 256. Sedangkan Pulau Morotai menjadi kabupaten dengan jumlah kecamatan paling sedikit yaitu 5 dan Kabupaten Halmahera Tengah menjadi daerah dengan desa/kelurahan paling sedikit yaitu 64. Dari total desa kelurahan sebanyak 73,55% atau 812 merupakan Desa pesisir dan sisanya 26,44% merupakan daerah pedalaman/pegunungan/terpencil yang tersebar di hampir semua kabupaten/kota (Bappeda, 2020).
Dengan keunikan Maluku Utara yang memiliki banyak pulau menjadi tantangan bagi provinsi yang berbasis kepulauan. Daerah dengan karakteristik wilayah kepulauan, memiliki kelebihan dan tantangan serta kendala tersendiri bagi pemeritah daerah, khususnya DPRD Provinsi Maluku Utara dalam menyerap aspirasi secara serentak. Dalam upaya pembangunan daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukan hanya itu, daerah berbasis kepulauan juga memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, terutama pada pemenuhan kebutuhan dasar. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan reses dengan waktu yang terbatas, maka besar kemungkinan jangkauan daerah yang dikunjungi pun menjadi sangat terbatas, sehingga aspirasi masyarak tidak terakomodir. Tentunya hal tersebut akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah. Jika berdasarkan kriteria daerah tertinggal di Provinsi Maluku Utara yang terdiri dari 10 kabupaten/kota, terdapat 7 Kabupaten yang dikategorikan sebagai Daerah Tertinggal. Sehingga dalam pelaksanaan reses DPRD Provinsi Maluku Utara selama ini, disinyalir aspirasi masyarakat belum terserap dengan baik atau proses penjaringan aspirasi masyarakat disinyalir belum efektif dan mengakibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan menjadi berkurang. Hal tersebut didukung data yang menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan Provinsi Maluku Utara masih rendah. Dibuktikan dengan pendapatan perkapita Provinsi Maluku Utara pada tahun 2018 sebesar Rp 29,6 juta, hal tersebut jauh lebih rendah dibanding pendapatan perkapita nasional yang sudah menyentuh angka Rp 56 juta.
Kemajuan ekonomi di suatu daerah dapat dilihat dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data Kementerian Keuangan Pendapatan Domestik Regional Bruto PDRB atas dasar harga berlaku Provinsi Maluku Utara senilai Rp 36,5 triliun. PDRB Provinsi Maluku Utara tersebut merupakan yang terendah dibandingkan 33 provinsi lainnya. Adapun provinsi dengan PDRB terbesar 2018 adalah DKI Jakarta senilai Rp 2.599,17 triliun (Kusnandar, 2019). Pada tahun yang sama tingkat inflasi Provinsi Maluku Utara mencapai 4,12% angka tersebut jauh di atas inflasi nasional yang sebesar 3,13%. Tingkat pengangguran terbuka secara nasional sebesar 5,34%, sementara TPT Provinsi Maluku Utara sebesar 4,77%Pada tahun 2019 persentase penduduk miskin di Indonesia berada diangka 9,41%, sementara Maluku Utara berada pada angka 6,77% (Bappeda, 2020).
Indeks pembangunan manusia merupakan salah satu indikator kinerja pembangunan. IPM digunakan untuk mengukur tiga dimensi pokok perkembangan manusia yang mencerminkan status kemampuan dasar penduduk, yang meliputi dimensi umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Maluku Utara mengalami peningkatan di angka 67,76. Namun, IPM Maluku Utara masih konsisten berada di bawah rata-rata IPM nasional dalam 9 tahun terakhir yaitu 71,39 (Bappeda, 2020).
Berdasarkan hal tersebut disinyalir tingkat partisipasi masyarakat Provinsi Maluku Utara dalam tahapan-tahapan pembangunan dinilai masih minim, sehingga arah pembangunan di Provinsi Maluku Utara masih belum sepenuhnya mengakomodir kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat sendiri. Masyarakat merupakan salah satu elemen paling penting dalam implementasi kebijakan. Masyarakat adalah setiap orang atau kelompok yang secara positif atau negatif mempengaruhi atau dipengaruhi oleh masalah atau hasil tertentu. Masyarakat merupakan individu dan/atau kelompok yang memiliki keterkaitan isu dan permasalahan yang menjadi fokus kajian atau perhatian, serta dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kegiatan, kebijakan dan tujuan organisasi. Dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan reses Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam menjaring aspirasi masyarakat di daerah kepulauan maka diperlukan peran aktif Anggota DPRD dan masyarakat, sehingga tujuan bersama dapat tercapai dan berkelanjutan.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian: “PELAKSANAAN KEGIATAN RESES ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DALAM MENJARING ASPIRASI MASYARAKAT DI DAERAH KEPULAUAN” (STUDI PADA DPRD PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN 2020/2021).
202374 | TES 353.28 ARD p 2022 k.1 | Fadel Muhammad Resource Center (Ilmu Sosial) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain