Malang, 16 Desember 2014 – Tepat 1 minggu setelah Hari Korupsi Sedunia, Program Minat Ilmu Administrasi Pemerintahan Jurusan Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) kembali melaksanakan Internasional Guest Lecture di hari kedua bersama Prof. Chung Hee Lee dengan tema “Anti Corruption Policy in Korea”. Tema tersebut dirasa cocok dipilih mengingat telah lebih dari setengah abad bangsa Indonesia merdeka kita masih terperangkap dalam masalah “korupsi” yang seolah tak kunjung usai. Guest Lecture tersebut diselengarakan untuk mendapatkan gambaran tentang korupsi yang terjadi di Korea dan ide-ide yang digunakan negara Korea untuk mengatasi korupsi di daerahnya.
Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut adalah Prof. Chung Hee Lee, Ph.D. Beliau adalah salah satu dosen senior dari Department of Political Science, Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), Seoul, Korea Selatan. Acara ini juga tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa S1 hingga S3 Jurusan Administrasi Publik, tetapi juga oleh Dosen-Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Publik – FIA UB.
Acara ini dibuka oleh Dr. Drs. Luqman Hakin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Pemierintahan, Jurusan Ilmu Administrasi Publik FIA UB. Dalam sambutannya beliau mengungkapkan bahwa korupsi merupakan salah satu “hot topic” di sebagian besar negara di dunia. Baik negara maju maupun berkembang tidak bisa lepas dari perangkap korupsi. Melalui kegiatan ini diharapkan akan mendapatkan gambaran tentang perbandingan korupsi di dunia internasional khususnya Korea dan Indonesia dan mendapatkan gambaran solusi alternatif untuk mengatasinya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Lee, Indonesia memiliki kekuatan besar untuk bisa menjadi negara maju. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, iklim yang kondusif, sumber daya manusia yang memadai, wilayah yang luas dan lain sebagainya. Lebih lanjut Lee mengungkapkan jika Indonesia mampu menangani masalah korupsi, dia yakin dalam beberapa waktu yang akan datang Indonesia akan menjadi salah satu dari 5 negara besar di dunia. Hal ini, menurut dia, sangat memungkinkan mengingat level korupsi antara Indonesia dan Korea relatif sama.
Lee mengungkapkan bahwa korupsi di Korea tidak hanya terjadi di pemerintahan yang ditunjukkan pada saat rezim Park Chung Hee berkuasa, tetapi juga di swasta dalam hubungannya dengan pemerintah sebagaimana terjadi pada Samsung, Hyundai, dan Daewoo, serta di militer dan industri pertahanan. Lebih jauh, Lee mengungkapkan bahwa terjadinya korupsi tersebut diakibatkan oleh budaya nepotisme dan paternalistik, hubungan personal dengan penguasa, jaringan personal, dan praktek-praktek ilegal lain yang ditoleransi. Untuk mengatasi hal tersebut, Lee mengungkapkan perlunya untuk membangun lembaga yang kuat dan budaya anti korupsi, membentuk peraturan dan memberikan punishment yang tegas, transparansi, dan perlunya pergerakan masyarakat untuk memberantas korupsi.
Di akhir pemaparannya Lee mengungkapkan jika masyarakat dunia memiliki cukup kemampuan dan keinginan untuk menghentikan korupsi karena 2 dari 3 orang yakin dapat membuat sesuatu yang berbeda untuk menghadapi korupsi, dan lebih dari 90% masyarakat memiliki keinginan yang sama untuk bersatu menghadapi korupsi. Saat masyarakat bergerak, maka sebuah perubahan akan terjadi. (AM/FIA)