Ketua Komisi Informasi: Badan Publik Wajib Melaksanakan Amanat Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik
Di era teknologi dan informasi seperti sekarang ini, keterbukaan informasi menjadi suatu hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Seluruh organisasi yang berstatus badan publik, artinya organisasi tersebut dibiayai oleh anggaran negara, wajib menerapkan keterbukaan informasi kepada publik. Sehingga, tingkat partisipasi masyarakat kepada jalannya pelayanan publik menjadi lebih besar, khususnya dalam hal pengawasan kinerja badan publik. Hal itulah yang menjadi esensi dari Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang disampaikan dalam acara “KI Goes to Campus: Forum Sosialisasi dan Komunikasi UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik”. Acara tersebut diselenggarakan oleh Komisi Informasi (KI) Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Jurusan Administrasi Publik FIA UB, Senin (11/5).
Dekan FIA UB Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS mengungkapkan pentingnya sosialisasi ini dilakukan kepada civitas akademika FIA UB, khususnya para mahasiswa yang nampak memenuhi ruangan penyelenggaraan acara ini. Dekan sepakat bahwa keterbukaan informasi pada era sekarang ini adalah suatu keniscayaan. Meski demikian, dalam pelaksanaannya tentu tidak boleh melanggar etika dan norma yang ada di dalam masyarakat. “Misalnya, jangan sampai karena keterbukaan informasi, lantas seorang anak melaporkan orangtuanya sendiri ke polisi,” imbuh Dekan.
Dalam acara yang lebih berformat seperti diskusi ilmiah tersebut, ada dua orang narasumber yang secara bergantian menyampaikan pemikirannya tentang topik ini. Yang pertama adalah Dr. Mohammad Nuh, M.Si, Ketua Pusat Sistem Informasi, Infrastruktur TI, dan Kehumasan (PSIK) FIA UB yang mengangkat tema “Keterbukaan Informasi dan Akuntabilitas Sektor Publik”. Sementara itu Ketty Tri Setyorini, Ketua KI Jawa Timur, lebih banyak menyampaikan tentang esensi dan pedoman pemanfaatan undang-undang ini kepada pemberi dan pemohon informasi publik.
Dalam paparannya, Nuh mengungkapkan bahwa dengan berkembangnya informasi dan teknologi seperti sekarang ini, dunia telah menjadi semacam ‘global village’. Sehingga, apa yang terjadi di suatu wilayah dapat dengan mudah diketahui oleh orang-orang di wilayah lainnya. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia pada jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah merintis keterbukaan informasi ini melalui lembaga khusus yang disebut dengan Open Government Indonesia atau OGI yang berkedudukan di Sekretariat Negara. Berkat rintisan Presiden SBY itulah peringkat keterbukaan anggaran Indonesia bisa mengalami peningkatan pesat. “Menurut Open Budget Index 2013, peringkat Indonesia sudah naik dari posisi 51 di 2010 menjadi 62 di 2012 dalam hal transparansi anggaran,” ujar Nuh.
Lebih lanjut, pria yang baru saja kembali dari tugas belajar S3 di Thailand tersebut juga sedikit menyinggung tentang prestasi Universitas Brawijaya (UB) dalam penilaian transparansi publik kategori Perguruan Tinggi. Meskipun UB mendapat peringkat ke-2, hanya kalah oleh Universitas Indonesia, pemeringkatan yang dilakukan Komisi Informasi pusat hanya melibatkan 16 kampus saja, sehingga kurang bisa menjadi gambaran tingkat transparansi UB yang sebenarnya. Namun demikian, dirinya memaklumi hasil itu karena memang pemeringkatan ini masih dalam tahap perkenalan. “UB, khususnya FIA UB, sudah memulai langkah yang benar dalam hal keterbukaan informasi, salah satunya kami menyediakan sarana komunikasi dengan civitas akademika melalui Facebook dan Twitter sembari terus meningkatkan kualitas tampilan website fakultas kami,” ungkap Nuh.
Sementara itu, Ketty Tri Setyorini selaku Ketua KI Jawa Timur menceritakan bahwa dengan adanya undang-undang ini, mahasiswa di kampus sebenarnya tidak perlu lagi berdemonstrasi untuk meminta informasi publik. Sebab, pada dasarnya seluruh badan publik, termasuk universitas, telah mengemban kewajiban untuk membuka akses publik terhadap informasi yang dimiliki universitas, sekalipun tidak diminta. Hanya saja, tidak seluruh informasi bisa diberikan oleh suatu badan publik. “Hal-hal yang bersifat rahasia negara, rahasia pribadi, atau rahasia bisnis termasuk jenis informasi yang tidak boleh dikonsumsi untuk publik,” ujarnya.
Kemudian, Ketty juga menjelaskan bahwa KI memiliki fungsi dan wewenang mirip seperti lembaga peradilan, yakni ketika ada pengajuan informasi yang tidak mampu dipenuhi oleh sebuah badan publik hingga batas waktu yang telah ditentukan. Dengan demikian, KI menjamin keterbukaan akses informasi oleh publik selama informasi yang diminta adalah informasi yang memang untuk konsumsi publik. Meski demikian, seorang pemohon informasi tidak boleh sewenang-wenang dalam memanfaatkan informasi yang ia dapatkan. “Kedua belah pihak, baik pemberi atau pemohon informasi, dapat dikenakan hukuman bila menyalahgunakan hak masing-masing dalam hal keterbukaan informasi,” tegas wanita yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jember ini. (ALA/FIA)