Texts
DINAMIKA KEBIJAKAN UANG KULIAH TUNGGAL : Studi di Universitas Brawijaya
RINGKASAN
Fani Nikmatul Sahrun Nisyak, 2025. Dinamika Kebijakan Uang Kuliah
Tunggal (Studi Pada Fakultas Peternakan, Pertanian dan Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya) Tesis. Program Studi Magister
Manajemen Pendidikan Tinggi, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas
Brawijaya. Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Drs. Suryadi, M.S ; Wike S.Sos.,
M.Si., DPA.
Dinamika Kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT): Studi pada Fakultas
Peternakan, Pertanian, dan Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Kebijakan
Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan salah satu bentuk regulasi pembiayaan
pendidikan tinggi yang diatur secara nasional. Di Universitas Brawijaya, khususnya
pada Fakultas Peternakan, Pertanian, dan Ilmu Administrasi, kebijakan ini tidak
terlepas dari dinamika politik, struktur kekuasaan, serta respons sosial ekonomi
mahasiswa. UKT sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan
Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ketentuan ini diperkuat oleh
Permendikbud No. 55 Tahun 2013, yang menjadi landasan awal dalam pelaksanaan
UKT secara nasional. Dalam implementasinya, kewenangan utama dalam
penentuan nominal dan struktur UKT berada di tangan pemerintah pusat, dalam hal
ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Rektor universitas
bertindak sebagai pelaksana teknis yang menerjemahkan kebijakan tersebut ke
dalam praktik administratif di tingkat institusi. Sementara itu, fakultas dan
mahasiswa hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan dan penerima dampaknya.
Hal ini menunjukkan minimnya partisipasi aktor lokal, baik dari kalangan dosen,
tenaga kependidikan, maupun mahasiswa, dalam proses perumusan maupun revisi
kebijakan. Ketimpangan dalam struktur pengambilan keputusan ini menciptakan
kesan bahwa kebijakan UKT bersifat top-down dan kurang mengakomodasi kondisi
serta kebutuhan riil di lapangan. Salah satu tantangan signifikan dalam dinamika
kebijakan UKT adalah distribusi pengetahuan dan informasi yang tidak merata.
Banyak mahasiswa yang tidak memahami secara utuh mekanisme penetapan UKT
maupun prosedur pengajuan keringanan atau banding. Ketidaktahuan ini membuat
sebagian mahasiswa cenderung pasif dan menerima keputusan tanpa memahami
bahwa mereka memiliki ruang untuk mengajukan keberatan atas penetapan UKT
yang dirasa tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga. Meskipun terdapat
mekanisme pengajuan keringanan atau penyesuaian, namun prosesnya seringkali
dianggap tidak transparan dan tidak cukup menjangkau seluruh mahasiswa. Dalam
konteks interaksi antaraktor, tenaga kependidikan memainkan peran penting
sebagai penghubung antara kebijakan yang bersifat makro dengan pelaksanaannya
di tingkat mikro. Namun, peran ini lebih bersifat administratif dan informatif tanpa
memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi kebijakan. Tenaga kependidikan
umumnya hanya dapat menyampaikan prosedur dan menyarankan solusi
administratif kepada mahasiswa, namun tidak dapat mengadvokasi perubahan
secara struktural. Di sisi lain, dosen dan organisasi mahasiswa kerap kali
menunjukkan keterlibatan yang minim, kecuali ketika terjadi krisis seperti rencana
kenaikan UKT yang memicu aksi demonstrasi. Peran mereka lebih bersifat reaktif
daripada proaktif dalam mengawal kebijakan pendidikan. Respons kampus
terhadap dinamika sosial dan ekonomi mahasiswa juga menjadi sorotan. Kondisi
ekonomi mahasiswa yang semakin beragam akibat fluktuasi ekonomi nasional tidak
selalu direspon secara cepat oleh sistem kebijakan. Meskipun secara formal terdapat
mekanisme keringanan UKT, namun implementasinya dianggap lamban dan belum
responsif terhadap kondisi nyata mahasiswa. Banyak mahasiswa yang kesulitan
secara ekonomi merasa tidak mendapatkan dukungan yang memadai, terutama
dalam hal dokumentasi dan proses verifikasi yang kompleks serta minim
pendampingan. Konflik nilai dan kepentingan menjadi elemen penting dalam
memahami dinamika kebijakan UKT ini. Di satu sisi, kebijakan UKT dimaksudkan
untuk menciptakan pemerataan akses pendidikan dengan prinsip keadilan sosial.
Namun, di sisi lain, pelaksanaannya justru menimbulkan ketimpangan baru karena
tidak semua mahasiswa merasakan keadilan dalam penetapan biaya kuliah.
Mahasiswa dari keluarga menengah ke bawah sering merasa dirugikan karena
berada di kelompok UKT menengah ke atas tanpa mempertimbangkan dinamika
ekonomi keluarga yang bisa berubah sewaktu-waktu. Hal ini menimbulkan
keresahan yang kemudian berujung pada aksi kolektif seperti demonstrasi, audiensi
terbuka, hingga petisi daring. Sebagian mahasiswa menganggap bahwa kebijakan
UKT lebih menekankan pada efisiensi fiskal institusi pendidikan daripada pada
kebutuhan mahasiswa sebagai subjek pendidikan. Universitas sebagai pelaksana
teknis sering terjebak dalam dilema antara memenuhi standar biaya operasional
institusi dan menjaga asas keadilan bagi seluruh mahasiswa. Ketegangan ini
menciptakan dinamika yang terus berkembang, terutama ketika terjadi perubahan
ekonomi makro, seperti pandemi atau inflasi, yang langsung mempengaruhi daya
beli masyarakat. Untuk mengatasi dinamika ini, diperlukan pendekatan yang lebih
partisipatif dan transparan dalam proses perumusan serta evaluasi kebijakan UKT.
Keterlibatan mahasiswa, dosen, dan unsur fakultas perlu ditingkatkan agar
kebijakan tidak hanya menjadi instrumen administratif, tetapi juga mencerminkan
nilai-nilai keadilan sosial dan inklusi. Selain itu, peningkatan kapasitas tenaga
kependidikan sebagai fasilitator informasi juga perlu diperkuat agar distribusi
informasi dapat merata dan akurat.
SUMMARY
Fani Nikmatul Sahrun Nisyak, 2025. The Dynamics of the Tuition Fee
Policy (A Study at the Faculties of Animal Science, Agriculture, and
Administrative Sciences, Brawijaya University). Thesis. Master’s Program in
Higher Education Management, Faculty of Administrative Sciences, Brawijaya
University. Supervisors: Prof. Dr. Drs. Suryadi, M.S.; Wike S.Sos., M.Si., DPA.
The Dynamics of the Tuition Fee Policy: A Study at the Faculties of Animal
Science, Agriculture, and Administrative Sciences, Brawijaya University The
tuition fee policy is a form of higher education funding regulation that is governed
nationally. At Brawijaya University, particularly within the Faculties of Animal
Science, Agriculture, and Administrative Sciences, this policy is closely tied to
political dynamics, power structures, and the socio-economic responses of students.
The policy is regulated under Regulation of the Minister of Education and Culture
of the Republic of Indonesia Number 25 of 2020 concerning the Standard Unit Cost
of Higher Education at State Universities under the Ministry of Education and
Culture. This regulation is reinforced by Ministerial Regulation No. 55 of 2013,
which laid the foundation for its national implementation. In practice, the central
government specifically the Ministry of Education, Culture, Research, and
Technology holds the main authority in determining the amount and structure of
tuition fees. University rectors act as technical implementers who translate this
policy into administrative practice at the institutional level. Meanwhile, faculties
and students merely serve as policy executors and recipients of its consequences.
This demonstrates the minimal involvement of local actors, including lecturers,
administrative staff, and students, in both the formulation and revision of the policy.
The imbalance in decision-making structures reflects a top-down approach that fails
to adequately accommodate the actual needs and conditions on the ground. One
significant challenge in the dynamics of this policy is the unequal distribution of
knowledge and information. Many students do not fully understand the mechanisms
for determining tuition fees or the procedures for applying for fee relief or appeals.
This lack of understanding leads some students to passively accept decisions
without realizing that they have the right to challenge fee assignments they feel are
inappropriate for their family's financial situation. Although mechanisms for
submitting relief applications exist, the process is often considered non-transparent
and fails to effectively reach all students. In terms of actor interactions,
administrative staff play a crucial role as intermediaries between macro-level policy
and micro-level implementation. However, their role is mainly administrative and
informative, without the authority to influence policy substantively. Administrative
staff typically only provide guidance on procedures and suggest administrative
solutions to students, but they cannot advocate for structural changes. On the other
hand, lecturers and student organizations tend to show minimal involvement, except
in times of crisis, such as proposed fee increases that trigger demonstrations. Their
role is more reactive than proactive in monitoring and shaping education policy.
The university's response to the social and economic dynamics of students is also a
point of concern. The increasingly diverse economic conditions of students,
exacerbated by national economic fluctuations, are not always addressed quickly or
appropriately by the policy system. Although fee relief mechanisms formally exist,
their implementation is often slow and perceived as unresponsive to students’ real
conditions. Many economically struggling students feel unsupported, especially
given the complex documentation and verification processes, which often lack
adequate guidance or assistance. Value and interest conflicts also play a significant
role in understanding the dynamics of the tuition fee policy. On the one hand, the
policy is intended to promote equitable access to education based on social justice
principles. On the other hand, its implementation often results in new forms of
inequality, as not all students experience fairness in tuition assignments. Students
from lower-middle-class families frequently feel disadvantaged when placed in
higher tuition groups without consideration of their actual financial circumstances,
which may change unexpectedly. This generates unrest, which often culminates in
collective actions such as demonstrations, public hearings, and online petitions.
Some students perceive the policy as being more focused on institutional fiscal
efficiency than on their actual needs as students. Universities, as technical
implementers, often face the dilemma of meeting institutional operational cost
standards while also maintaining fairness for all students. This tension creates a
continuously evolving dynamic, especially during times of macroeconomic
upheaval such as pandemics or inflation which directly affect household purchasing
power. To address these dynamics, a more participatory and transparent approach
is needed in the formulation and evaluation of the tuition fee policy. Greater
involvement of students, lecturers, and faculty members is necessary to ensure that
the policy is not merely an administrative instrument but also reflects values of
social justice and inclusion. Additionally, the capacity of administrative staff as
information facilitators must be strengthened so that information distribution
becomes more equitable and accurate.
| 2025135 | TES 332,40 NIS d 2025 K1 | Fadel Muhammad Resource Center (Ilmu Sosial) | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - No Loan |
Tidak tersedia versi lain