Buku ini membahas mengenai desentralisasi pemerintahan daerah. Desentralisasi memiliki dampak negative seperti munculnya raja-raja kecil dan KKN akibat lemahnya pengawasan pusat. Desentralisasi dan sentralisasi sebenarnya berada dalam satu garis. Saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pemerintahan. Buku ini dapat menjadi rujukan untuk studi yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Buku ini wajib dibaca untuk mahasiswa yang memiliki minat terhadap pemerintahan daerah.
Dalam menjelaskan desentralisasi terdapat tiga teori, yaitu teori demokrasi liberal, interpretasi ekonomi yang berbasis pada public choice theory dan interpretasi Marxist yang cenderung menolak desentralisasi.
Desentralisasi dapat dipahami dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas mencakup konsep devolusi (desentralisasi dalam arti sempit), delegasi, dekonstruksi dan privatisasi serta deregulasi.
Desentralisasi dan demokrasi merupakan dua konsep yang berbeda, namun keduanya saling melengkapi.
Pembagian kekuasaan pemerintah merupakan sebuah instrument untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Pembagian kekuasaan dapat dilakukan bedasarkan tiga hal, yaitu proses, fungsi dan konstituen, baik secara ekslusif maupun berbagi.
Ada tiga jenis pembagian kekuasaan, yaitu tingkat nasional (Cdp) atau pembagian kekuasaan secara horizontal, pembagian kekuasaan daerah (Adp) atau pembagian kekuasaan vertical dan pembagian kekuasaan pada institusi non pemerintah (Ndp).
Local government dapat dimaknai dengan tiga hal yaitu pertama pemerintahan daerah mengacu pada organ yang melaksanakan fungsi dan urusan yang didesentralisasikan. Kedua, sebagai pemerintahan daerah yang mengacu pada fungsi yang dijalankan dalam kerangka desentralisasi. Ketiga, sebagai daerah otonom, tempat dimana lokalitas berada dan membentuk kesatuan hokum sendiri, meskipun tidak berdaulat tetapi memiliki hak untuk mengurus dirinya sendiri.
Partisipasi masyarakat merupakan aspek esensial pemerintah daerah. Ada tiga aspek penting partisipasi masyarakat yaitu pertama pemahaman atas makna masyarakat dan posisinya dalam pemerintahan daerah. Kedua, penguasaan atas rentang pengertian partisipasi serta beragam bentuknya dalam praktik partisipasi yang berlangsung dalam proses pemerintahan daerah. Ketiga, pengetahuan tentang berbagai faktor yang mempengaruhi tingkatan partisipasi.
Adanya hubungan antara desentralisasi politik dengan desentralisasi fiskal. Desentralisasi politik membutuhkan kemandirian finansial dalam mengelola kewenangannya. Sementara desentralisasi fiskal menuntut adanya kemandirian pengambilan keputusan dalam pengelolaannya.
Terdapat dua aspek penting terkait desentralisasi fiskal yaitu kewenangan otonom dalam hal pengeluaran dan kemandirian untuk membiayai pengeluaran tersebut.
Pengeluaran pemerintahan daerah pada dasarnya menyangkut pelayanan publik harus disediakan secara efektir, efisien, adil dan transparan. Penyediaan layanan ini berlangsung dalam dua bentuk, yaitu direct service provision dan indirect service management. Untuk keberlangsungan penyediaan layanan ini, maka pemerintah daerah membutuhkan pendapatan yang memadai.
Pendapatan pemerintah daerah dapat diperoleh melalui tiga sumber yaitu pendapatan asli daerah, transfer dari pemerintah atasan maupun pinjaman.
Pengelolaan desentralisasi fiskal ini penting untuk meningkatkan kemandirian daerah. Pengelolaan yang baik menuntut adanya kelembagaan yang baik pula. Aspek kelembagaan ini penting karena jika tidak terkelola dengan baik, maka akan memicu ketergantungan daerah kepada pemerintahan pusat.
Proses dalam mewujudkan partisipasi publik oleh pemerintahan daerah di Indonesia bukan hal yang mudah dikarenakan masyarakat yang belum terbiasa dengan partisipasi aktif dan sukarela.
Upaya ini merupakan hal penting karena Indonesia merupakan negara yang sedang dalam masa transisi menuju demokrasi. Masyarakat masih terbiasa menggunakan mobilized participation yang dipergunakan secara ekstensif baik oleh rezim orde baru maupun orde lama. Ironisnya dalam era informasi saat ini, mekanisme partisipasi publik dalam pemerintahan daerah masih lemah.
Ada dua cara yang diakui oleh undang-undang yaitu pertama masuknya anggota masyarakat sebagai elected member dari DPRD dan Kepala Daerah, serta yang kedua desentralisasi kepada unit yang lebih rendah yaitu Desa sebagai bentuk dari decentralization within cities.
UU Nomor 32 tahun 2004 lebih memperkuat partisipasi publik ini dengan mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat. Hal ini tentunya derajat partisipasinya lebih tinggi daripada pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Untuk yang pertama (elected member) masyarakat hanya dapat berinteraksi dengan politisi di DPRD yang harus menampung, memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat serta aspirasi daerah dan masyarakat.
Namun tidak ada penjelasan mengenai mekanisme yang bisa dijadikan pedoman dan jaminan bagi pengakuan dan terselenggaranya partisipasi publik. Siapa yang boleh dan dapat terlibat? Bagaimana bentuk keterlibatannya? Apa konsekuensi keterlibatannya? Apa yang harus dilakukan oleh DPRD dan kepala daerah beserta perangkatnya? Apa sanksi atas kelalaian dalam pengabaian partisipasi publik?
Pada praktiknya, anggota DPRD yang bertujuan untuk mewakili kepentingan warga ternyata mereka lebih berperan sebagai wakil partainya. Akibatnya wujud partisipasi elected member menjadi gagal dan menempatkan warga pada posisi kurang dapat menyalurkan aspirasinya dalam pemerintahan daerah.
Selanjutnya mekanisme kedua yaitu desentralisasi pada tingkat desa dalam bentuk kebijakan mengenai pemerintahan desa. Hal ini dianggap lebih demokratis dan partisipatif. Tapi masalahnya yaitu nilai-nilai demokrasi lokal telah dirusak karena uniformitas yang dipaksakan dalam kebijakan pemerintahan desa pada masa orde baru tersebut.
Selain kedua cara utama, UU tersebut tidak memberikan ruang lain bagi mekanisme partisipasi publik. Tidak ada tempat lagi bagi partisipasi dalam tahap implementasi, apalagi kontrol terhadap pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Masih dibutuhkan kejelasan mekanisme dalam menyelenggarakan pemerintahan berbasis partisipasi publik. (Volunteer FMRC FIA UB / Aldi Rahman Untoro)
Courtesy to : Dr. M.R. Mujiburrahman Khairul Muluk, Buku ini tersedia disini