Texts
AGENDA SETTING KEBIJAKAN PASCA PENETAPAN HUTAN MALALO TIGO JURAI SEBAGAI HUTAN ADAT Perspektif Teori Six Sigma
RINGKASAN
WAHYU FIRMANDA, 2024, Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik,
Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya. Analisis Agenda Setting Pasca
Penetapan Hutan Malalo Tigo Jurai Sebagai Hutan Adat (Perspektif Teori Six
Sigma). Komisi Pembimbing : Dr. Sarwono, M.Si. Dan Dr. Suryadi, MS.
Berdasarkan putusan MK Nomor 35/PPU-X/2012 hutan adat adalah hutan
yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (MHA). Kebijakan hutan adat
merupakan kebijakan yang menyatakan hak masyarakat adat terhadap hutan
adat. Untuk dapat diakui dan ditetapkan sebagai hutan adat oleh Negara, ada
beberapa kriteria sebagai pertimbangan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, yang tertuang dalam Peraturan Menteri LHK RI No. P.17/MENLHK/
SETJEN/KUM.1/8/ 2020 Tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Persyaratan inilah
yang menjadi penghalang bagi masyarakat adat Malalo Tigo Jurai untuk
pengakuan hutan adat yaitu belum adanya produk hukum daerah yang khusus
membahas terkait pengakuan dan perlindungan MHA Malalo Tigo Jurai.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan purposive
sampling untuk menentukan informan penelitian. Teknik pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Metode analisis data
dengan menggunakan six sigma William B. Smith dan Mikel J. Harry (1981).
Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terjadinya proses agenda setting
kebijakan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar terkait pengakuan dan
perlindungan MHA Malalo Tigo Jurai. Hal ini dikarenakan pengakuan dan
perlindungan MHA Jurai yang tidak dianggap sebagai masalah publik oleh Dinas
Perkim-LH, sebab masalah yang terjadi tidak begitu populer dan tidak banyak
masyarakat yang mengetahui dan mengalami masalah yang terjadi. Kemudian
solusi yang muncul dari perbincangan masyarakat Malalo Tigo Jurai tidak
ditanggapi oleh Dinas Perkim-LH karena harus menunggu kejelasan masalah
yang terjadi dan solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut,
kemudian Dinas Perkim-LH siap dengan tindakan solusi yang bisa digunakan
ketika masalah yang terjadi pada hutan adat dan MHA jelas dan berdampak luas
bagi masyarakat. Serta kurangnya peran dari organisasi politik, kemasyarakatan
dan media massa untuk ikut memperhatikan dan mengadvokasi permasalahan di
Malalo Tigo Jurai, Dinas Perkim-LH yang mempunyai kewenangan dalam
merumuskan kebijakan pengakuan dan perlindungan MHA untuk melakukan
pengagendaan dalam membahas permasalahan hutan adat dan pengakuan dan
perlindungan MHA sebagai syarat untuk pengakuan suatu hutan adat oleh
Negara. Sehingga tidak terjadi proses pembahasan masalah hutan adat dan MHA
Malalo Tigo Jurai oleh aktor pembuat kebijakan hutan adat dan MHA Malalo Tigo
Jurai dalam hal ini Dinas Perkim-LH. Hal ini dikarenakan tidak adanya laporan
atau tuntutan yang kuat dari masyarakat terkait persoalan tersebut. Oleh karena
itu tidak terjadi proses agenda setting kebijakan pasca penetapan hutan Malalo
Tigo Jurai sebagai hutan adat.
Kata Kunci: Agenda Setting, Hutan Adat, Masyarakat Hukum Adat
SUMMARY
WAHYU FIRMANDA, 2024, Master of Public Administration Study Program,
Faculty of Administrative Sciences, Universitas Brawijaya. After The Malalo Tigo
Jurai Forest Was Designated As a Customary Forest, An Analysis Of The
Agenda-Setting Process Was Conducted (Six Sigma Theory Perspective). Dr.
Sarwono, M.Si., and Dr. Suryadi, MS, serve on the Advisory Committee.
Customary forest is defined as forest located within the area of customary law
communities, according to the Constitutional Court's ruling 35/PPU-X/2012 (MHA).
The policy on indigenous peoples' rights to customary forests is known as the
customary forest policy. There are numerous factors for the Ministry of
Environment and Forestry to examine when recognizing and designating a forest
as a customary forest, as stated in Minister of Environment and Forestry
Regulation No. P.17/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/8/ 2020 concerning Customary
Forests and Private Forests. The absence of regional legal goods that expressly
discuss the recognition and protection of MHA Malalo Tigo Jurai is a hurdle for the
indigenous people of Malalo Tigo Jurai seeking acknowledgment of customary
forests.
The research respondents were chosen using a qualitative descriptive
method with purposive sampling. Interviews, observation, and documentation
were used as data gathering strategies. Using six sigma as a data analysis
method Mikel J. Harry and William B. Smith (1981).
The findings revealed that the Tanah Datar Regency Government did not
have a policy-making procedure in place to recognize and safeguard MHA Malalo
Tigo Jurai. This is because the Perkim-LH Office does not consider the
recognition and protection of MHA Jurai to be a public problem because the
issues that arise are not well known, and few people are aware of and experience
the issues that arise. The Perkim-LH Office did not respond to the solution that
emerged from the Malalo Tigo Jurai community's discussion because they
needed to wait for the clarity of the problems that had occurred and solutions that
could solve the problem before they were ready to take action solutions that could
be used when problems occurred in the forest. MHA and adat are well-known in
the community and have a large impact. In addition to the lack of participation
from political organizations, the community, and the media in paying attention to
and advocating for problems in Malalo Tigo Jurai, the Perkim-LH Office, which has
the authority to formulate policies for the recognition and protection of MHA, has
iv
set up a meeting to discuss customary forest issues and the recognition and
protection of MHA as conditions for the State to recognize a customary forest. So
that the actor responsible for customary forest policy and MHA Malalo Tigo Jurai,
in this case the Office of Perkim-LH, does not debate the topic of customary forest
and MHA Malalo Tigo Jurai. This is due to the lack of strong community reports or
demands about this topic. As a result, the policy-making agenda was not
established until the Malalo Tigo Jurai forest was designated as a customary
forest.
Keywords: Agenda Setting, Customary Forest, and Community of
Customary Law
20242175 | TES 634,92 FIR a 2024 K1 | Fadel Muhammad Resource Center (Ilmu Terapan) | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - No Loan |
Tidak tersedia versi lain