Texts
Pemetaan Wilayah Adat Dalam Perspektif Collaborative Governance Studi Kasus di Kabupaten Sorong Selatan
RINGKASAN
Yohanes Apriadi. Program Magister Adminitrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi,
Konsentrasi Perencanaan Pembangunan Daerah Universitas Brawijaya. “Pemetaan Wilayah Adat Dalam Perpektif Collaborative Governance (Studi
Kasus di Kabupaten Sorong Selatan). Ketua Komis Pembimbing: Dr. Alfi Haris Wanto, S.AP., M.AP., MMG. Anggota Komisi Pembimbing: Asti Amelia Novita,
S.AP., M.AP., Ph.D
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, menganalisis dan mendeskripsikan aspek collaborative governance menurut Ansel dan Gash (2008)
yang berfokus pada kondisi awal, desain kelembagaan, kepemimpinan fasilitatif, proses kolaborasi serta menganalisis faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pemetaan wilayah adat di Sorong Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif dengan orientasi pada studi etnografi. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan
dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan model Miles dan Hubermen yang
terdiri dari reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi awal dalam pemetaan wilayah adat yang dilakukan di Sorong Selatan terdapat ketidakseimbangan sumberdaya
antara para pihak, terutama dalam hal penganggaran, sumberdaya manusia dan
prasarana sarana teknis. Selain itu, terdapat insentif kolektif diantara para pihak,
tetapi ada pula insentif yang berbeda sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan para pihak. Dalam kolaborasi pemetaan wilayah adat di Sorong
Selatan juga terdapat pengalaman kerjasama dan konflik masa lalu antara para
pihak. Dalam kolaborasi pemetaan wilayah adat di Sorong Selatan, NGO lah yang menjalankan peran kepemimpinan fasilitatif. Desain kelembagaan kolaborasi dilaksanakan secara terbuka, partisipatif dan inklusif dengan melibatkan para
pihak yang terdiri dari Pemerintah Daerah Sorong Selatan, NGO Econusa dan
Konservasi Indonesia serta Masyarakat Adat Tehit sesuai dengan sumberdaya dan tugas serta fungsi yang dimiliki. Dalam kolaborasi dibentuk forum terbatas
yang melegitimasi keterlibatan para pihak untuk bekerja bersama mencapai tujuan
melalui tata kelola jaringan. Dalam kolaborasi pemetaan wilayah adat di Sorong Selatan juga disepakati aturan dasar sebagai panduan dalam pelaksanaan maupun sebagai sarana membangun kepercayaan juga sebagai komitmen bersama. Proses pengambilan keputusan dalam forum kolaborasi dilakukan secara transparan, terbuka dan inklusif. Dalam proses kolaborasi pemetaan
wilayah adat di Sorong Selatan dilakukan dialog tatap muka antara para pihak melalui forum sosialisasi, koordinasi, diskusi, FGD, pelatihan maupun pertemuanpertemuan lainnya sebagai sarana membangun kepercayaan dan berbagi pemahaman serta visi bersama dalam mewujudkan konsesus. Komitmen
menjalani proses diwujudkan oleh para pihak melalui pencapaian tujuan kolektif, yakni tersedianya peta wilayah adat sebagai dasar intervensi kebijakan dan
pengambilan keputusan yang disepakati oleh para pihak melalui
xii
penandatanganan pengesahan draft peta wilayah adat oleh Masyarakat Adat Tehit dan Pemerintah daerah Sorong Selatan. Hasil sementara dari proses kolaborasi pemetaan wilayah adat di Sorong Selatan adalah tersedianya draft peta wilayah
adat dan draft perda pengakuan MHA serta dokumen antropologi dan sosiologi Masyarakat Adat Tehit Mlakya. Terdapat beberapa faktor pendorong penting dalam kolaborasi pemetaan wilayah adat di Sorong Selatan, yakni (1) Adanya
forum terbatas yang memiliki sumberdaya berbeda untuk berkolaborasi; (2)
Adanya pemahaman, tujuan dan manfaat sebagai insentif kolektif yang membentuk motivasi para pihak; (3) Pemetaan wilayah adat merupakan konsep baru di Sorong Selatan; dan (4) Adanya kerangka kebijakan peraturan perundangundangan
yang memberi arahan terhadap perlindungan MHA. Selain faktor
pendukung, terdapat juga faktor penghambat, yakni (1) Belum adanya komitmen
dan fokus Pemerintah Daerah Sorong Selatan dalam mengafirmasi MHA; (2) Lemahnya koordinasi antara para pihak; (3) Adanya sengketa batas wilayah antar marga atau sub suku; (4) Adanya wilayah adat yang sulit dijangkau; dan (5) Tumpang tindih wilayah adat dengan kawasan hutan.
Dalam penelitian ini disarankan kepada para pihak, terutama Pemerintah Daerah Sorong Selatan untuk perlu mengembangkan strategi pendekatan collaborative governance dalam memotret aktivitas masyarakat adat serta menyusun strategi pemetaan wilayah adat untuk perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat dan ruang hidupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
xiii
SUMMARY
Yohanes Apriadi. Public Administration Masters Program, Faculty of Administrative Sciences, Concentration of Regional Development Planning, Universitas Brawijaya. "Mapping Traditional Areas from a Collaborative Governance Perspective (Case Study in South Sorong Regency)”. Advisory Committee Chair: Dr. Alfi Haris Wanto, S.AP., M.AP., MMG. Advisory Commission Member:
Asti Amelia Novita, S.AP., M.AP., Ph.D
The aim of this research is to determine, analyze and describe aspects of collaborative governance according to Ansel and Gash (2008) which focuses on
initial conditions, institutional design, facilitative leadership, collaboration processes as well as analyzing supporting and inhibiting factors in mapping traditional areas in South Sorong. The method used in this research is a qualitative descriptive approach with an orientation towards ethnographic studies. Data
collection was carried out through observation, interviews and documentation. The data analysis technique uses the Miles and Hubermen model which consists of data reduction, data presentation and drawing conclusions.
The research results show that the initial conditions in the traditional area mapping carried out in South Sorong were an imbalance of resources between the parties, especially in terms of budgeting, human resources and technical infrastructure. Apart from that, there are collective incentives between the parties, but there are also different incentives according to the duties, functions and authority of the
parties. In the collaborative mapping of traditional areas in South Sorong there
were also experiences of past collaboration and conflict between the parties. In the
collaborative mapping of traditional areas in South Sorong, NGOs were the ones
who carried out a facilitative leadership role. The collaborative institutional design was carried out in an open, participatory and inclusive manner by involving parties
consisting of the South Sorong Regional Government, NGO Econusa and
Indonesian Conservation as well as the Tehit Indigenous Community in accordance with their resources and duties and functions. In collaboration, a
limited forum is formed which legitimizes the involvement of parties to work together to achieve goals through network governance. In the collaboration on mapping traditional areas in South Sorong, basic rules were also agreed upon as a guide for implementation and as a means of building trust as well as a joint commitment. The decision-making process in the collaboration forum is carried out in a transparent, open and inclusive manner. In the collaborative process of mapping traditional areas in South Sorong, face-to-face dialogue was carried out
between the parties through socialization forums, coordination, discussions, FGDs, training and other meetings as a means of building trust and sharing understanding and a common vision in realizing consensus.The commitment to undergo the process is realized by the parties through achieving collective goals, namely the
availability of a map of the traditional territory as a basis for policy intervention and
decision making agreed upon by the parties through the signing of the ratification
of the draft map of the traditional territory by the Tehit Indigenous Community and
the South Sorong regional government. The interim results of the collaborative
202304 | TES 352,14 APR p 2023 k1 | Fadel Muhammad Resource Center (ilmu sosial) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain