Texts
Analisis Model Perencanaan Strategis Deliberataif Untuk Pengembangan Desa Tangguh Bencana: Studi pada Kelurahan Togafo Kecamatan Ternate Barat Kota Ternate dan BPBD Kota Ternate
Pelibatan warga Negara telah menjadi bagian integral dari proses pembangunan. Wacana ini dikenal dengan istilah deliberative yang merupakan bentuk derivasi demokrasi deliberatif yang berasal dari konsepsi “ruang publik” (public sphere) milik Habermas (Mardiyanta, 2011). Dalam demokrasi deliberative, penggalian masalah dan tata cara pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah melalui dialog dan sharing pengalaman diantara pemerintah dan warga negara (citizen). Tujuan dari tata cara ini tidak lain adalah untuk mencapai mufakat didasarkan pada berbagai pertimbangan yang dikemukakan oleh berbagai pihak. Demokrasi deliberative berbeda dengan demokrasi perwakilan. Perbedaannya adalah demokrasi perwakilan menekankan pada keterwakilan (representation), prosedur pemilihan perwakilan yang ketat, dan mengenal istilah mayoritas dan minoritas sedangkan demokrasi deliberative ditekankan pada kerjasama antar ide-ide dan berbagai pihak (Mardiyanta, 2011). Dengan demikian, demokrasi deliberative mengutamakan argumentasi, dialog, saling menghargai, dan upaya untuk mencapai titik temu dalam pengambilan keputusan publik.
Selain adanya wacana deliberative di atas, tuntutan untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan juga muncul karena adanya pergeseran paradigma dari government ke governance. Perubahan ini telah menggeser tata kelola pemerintahan yang semula hanya bertumpu pada pemerintah menjadi pemberian kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat dan swasta untuk terlibat dalam proses pembangunan. Menurut Effendi (2005) perbedaan paling pokok antara government dan governance terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan suatu bangsa. Paradigma governance, menempatkan kedudukan tiga pihak (pemerintah, swasta dan masyarakat) secara setara dalam mengemukakan ide-ide terkait dengan pembangunan. Dengan demikian, Pemerintah sebagai actor utama harus memiliki kesadaran dan komitmen untuk melibatkan masyarakat dan swasta dalam proses pembangunan, baik di pusat maupun daerah.
Sebagai bagian dari proses pembangunan yang telah terpengaruh istilah deliberative dan mengalami pergeseran paradigm tata kelola pemerintahan, perencanaan juga mengalami perubahan paradigma ke arah perencanaan berbasis komunikasi. Ini merupakan paradigm baru perencanaan yang dilakukan melalui komunikasi dalam bentuk dialog antara pemerintah dan pemangku kepentingan untuk menentukan kebijakan publik. Paradigma ini dapat dikatakan sebagai upaya untuk mempertemukan ide pemerintah dan kebutuhan masyarakat dalam pembangunan. Paradigma ini juga diistilahkan sebagai collaborative planning (Innes dan Booher, 1999a; Margerum, 2002; Healey, 2003; Maginn, 2007; Lofgren and Agger, 2008) dalam (Purbani, 2017); perencanaan transaktif (Friedman, 1973); perencanaan komunikatif (Sager, 1994); perencanaan deliberative partisipatif (Forester, 2000) dalam (Sufianti et al, 2013). Berbagai pendekatan perencanaan ini memiliki karakter yang relative sama, berbasis pada komunikasi melalui dialog/diskusi. Namun agar menghasilkan komunikasi yang baik dalam proses perencanaan, dibutuhkan partisipasi, kesetaraan kekuasaan, serta kompetensi yang memadai dari para pemangku kepentingan. Adanya paradigm perencanaan ini telah menggeser paradigm perencanaan tradisional yang awalnya hanya milik pemerintah juga menjadi milik masyarakat.
Dalam perkembangannya, model deliberative telah mendapatkan pijakkan dalam perencanaan strategis, (Bryson, 2017: 8) mendefinisikan perencanaan strategis sebagai sebuah deliberative, pendekatan yang didisiplinkan untuk memproduksi keputusan-keputusan fundamental dan tindakan-tindakan yang membentuk dan mengarahkan apa organisasi itu, apa yang harus dilakukan dan mengapa organisasi melakukan itu. Perencanaan strategis akan berfokus pada identifikasi dan pemecahan isu-isu yang ada di dalam suatu wilayah (Bryson, n.d.). Selain itu perencanaan strategis akan mendorong terjadinya pembelajaran strategis (strategic learning) melalui percakapan strategis (strategic conversation) dan deliberasi diantara masyarakat dan pemerintah (Bryson, 2004). Deliberatif dapat mendorong terwujudnya demokrasi dengan memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperjuangkan kebutuhan mereka melalui sebuah ruang publik, dimana setiap pihak memiliki kesempatan yang sama untuk menyuarakan ide mereka. Dengan demikian kebijakan yang diputuskan secara musyawarah (deliberative) tersebut akan mendapat dukungan masyarakat, sehingga memberikan kemungkinan yang besar bagi keberlanjutan program.
Model Perencanaan strategis menurut (Bryson, 2004) dikenal dengan model Strategy Change Cycle yang terdiri dari delapan (8) tahapan proses perencanaan yaitu (1) menginisiasi dan menyepakati suatu proses perencanaan strategis; (2) memperjelas mandat organisasi; (3) mengklarifikasi misi dan nilai-nilai organisasi; (4) menilai lingkungan eksternal; (5) menilai lingkungan internal; (6) mengidentifikasi isu-isu strategis yang dihadapi organisasi; (7) Perumusan strategi untuk mengelola isu-isu; (8) menciptakan visi organisasi. Selanjutnya, Bryson (2017) mengemukakan bahwa hal yang paling penting dan utama dalam perencanaan strategis dengan metode deliberatif adalah adanya forum formal dan informal, dimana masyarakat dapat berkumpul untuk mengidentifikasi isu-isu penting, memutuskan solusi, pembelajaran dapat terjadi dan hasilnya dapat dilanjutkan untuk memutuskan kebijakan di suatu wilayah. Hal ini dikarenakan inti dari deliberative adalah keterlibatan warga negara untuk menyuarakan ide dalam pengambilan keputusan (Mardiyanta, 2011).
Seiring waktu perencanaan dengan model deliberative telah diterapkan dalam bidang kebencanaan. Beberapa penelitian empiris menunjukkan bahwa metode deliberative dapat digunakan untuk mendukung perencanaan strategis. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Russell Lundberg dan Henry H. Willis (2016) yang berjudul” Deliberative Risk Ranking to Inform Homeland Security Strategic Planning”. Penelitian ini menerapkan metode deliberative untuk rangking risiko keamanan dalam negeri yang berbasis musyawarah dalam menilai risiko dengan mempertimbangkan ilmu pengetahuan (science). Metode ini menyediakan pendekatan yang terstruktur untuk memeringkat risiko dari partisipan. Tahap pertama dalam metode ini adalah melakukan identifikasi atribut terkait ancaman/bahaya. Kemudian membuat ringkasan dari hasil identifikasi tersebut. Dari hasil ini, kemudian dijadikan strating point untuk memprioritaskan solusi-solusi untuk mengurangi risiko tersebut. Kesepakatan dari dari rangking risiko merupakan keputusan bersama dari seluruh pihak yang menyediakan gambaran valid untuk digunakan dalam perencanaan strategis.
Sebelumnya pada tahun 2008 penelitian oleh Patricia A. Wilson yang berjudul “Deliberative Planning for Disaster Recovery: Remembering New Orleans” telah mengemukakan bahwa perencanaan dengan metode deliberative terbukti efektif digunakan untuk mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan berbagai pihak. Hasil penelitian oleh Wilson menunjukkan pengaturan deliberative dapat memberikan kesempatan kepada berbagai kelompok dari beberapa populasi yang berbeda untuk mengemukakan ide melalui diskusi yang dibangun secara intensif. Selain itu penelitian ini menunjukkan bahwa metode deliberative dapat meningkatkan legitimasi dan rasa kepedulian warga terhadap masa depan mereka setelah bencana yang mereka alami serta meningkatkan pembelajaran (learning) melalui proses diskusi. Hal ini membenarkan apa yang dikemukakan (Mardiyanta, 2013) bahwa dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan publik akan dapat mengembalikan public trust terhadap pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesadaran dan komitmen pemerintah untuk melibatkan masyarakat maupun pihak lainya dalam proses perencanaan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah sendiri.
Di Indonesia, upaya pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam pengurangan risiko dimulai dengan perubahan kebijakan manajemen bencana melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Kebijakan ini menggeser paradigma pengelolaan bencana yang semula responsif menjadi pencegahan, sektoral ke multi-sektoral, inisiatif pemerintah menjadi tanggungjawab bersama, sentralisasi menjadi desentralisasi, dan tanggap darurat menjadi pengurangan risiko bencana (PRB). Penyelenggaraan penanggulangan bencana kemudian dilakukan melalui manajemen bencana yang holistik dan terpadu antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Penanggulangan bencana harus terencana dan terkoordinasi di antara para pelaku dimana pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggungjawab utama. Masing-masing aktor harus diberikan peran dan kesempatan yang sama untuk terlibat dalam tata kelola bencana dalam rangka mengurangi risiko bencana. Untuk mewujudkan hal ini, maka dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik perlu diupayakan sebuah pendekatan yang dapat melibatkan stakeholders, dimana masing-masing pihak dapat menyuarakan ide mereka terkait pengurangan risiko bencana.
Pelaksanaan manajemen bencana di era desentralisasi kemudian mengamanahkan pemerintah daerah untuk bertanggungjawab terhadap upaya pengurangan risiko dengan memperhatikan karakteristik masing-masing daerah. Hal ini dikarenakan setiap daerah memiliki ancaman, kapasitas dan kerentanan yang berbeda-beda. Oleh karena itu kewenangan Pemerintah daerah untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan harus disesuaikan dengan karakteristik dari wilayah yang rawan bencana, dimana peran masyarakat lokal menjadi point penting sebagai sumber informasi tentang karakteristik wilayah maupun aspek lainya yang dapat digunakan dalam upaya mitigasi bencana. Dengan kata lain UU No.32 Tahun 2004 dan UU No. 24 Tahun 2007 telah memberikan wewenang dan tanggungjawab kepada Pemerintah daerah untuk memainkan peran penting sebagai koordinator dan fasilitator dalam penanggulangan bencana di daerah masing-masing. Tujuannya untuk memastikan bahwa masyarakat di daerahnya memiliki pemahaman yang baik terhadap potensi dampak bencana dan memiliki kemampuan untuk menghadapi ancaman/hazard yang ada di lingkungan mereka.
Upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dilakukan pemerintah melalui pengembangan desa/kelurahan tangguh bencana. Upaya ini pada dasarnya merupakan manajemen risiko bencana berbasis masyarakat. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, menyatakan bahwa pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat adalah proses pengelolaan risiko bencana yang melibatkan secara aktif masyarakat yang berisiko dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya. Dengan kata lain dalam pengembangan desa tangguh bencana (destana), masyarakat sendiri yang merencanakan program dan kegiatan untuk pengurangan risiko bencana sekaligus melaksanakannya dengan menggunakan sumber daya lokal demi menjamin keberlanjutan. Dalam hal ini, masyarakat menjadi pelaku utama, menjadi subjek sekaligus objek sementara pihak pemerintah hanya sebagai fasilitator.
Program Desa Tangguh Bencana merupakan salah satu program prioritas BNPB yang diluncurkan pada tahun 2012. Sebagai pilot project yang ditujukan ke beberapa daerah rawan bencana di Indonesia, program ini juga diimplementasikan di Kota Ternate yang memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap ancaman gunungapi gamalama. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam data Indeks risiko bencana untuk ancaman letusan gunung api tahun 2018 oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Risiko terhadap penduduk semakin tinggi dikarenakan kota ternate dibangun di atas pulau vulkanik kecil yang merupakan gunungapi aktif. Sebagai akibatnya seluruh penduduk di kota ternate hidup di atas badan gunungapi yang terbagi menjadi tiga kawasan rawan bencana yaitu kawasan rawan bencana I (KRB I), KRB II dan KRB III. Potensi bahaya erupsi gunungapi gamalama terhadap tiga KRB pada umumnya dapat berupa semburan bom vulkanik membara, lapilli, serta material lepas lainya, dan kadang – kadang diikuti oleh aliran lava.
Wilayah di kota ternate yang memiliki kerentanan paling tinggi terhadap ancaman erupsi gunungapi gamalama adalah Kelurahan Togafo Kecamatan Ternate Barat yang sebagian besar wilayahnya masuk dalam KRB I, KRB II, dan KRB III. Hal ini sebagaimana di kemukakan oleh (Mei dkk, 2016) yang menunjukkan bahwa kelurahan dengan kerentanan total tertinggi (kerentanan sosial, ekonomi, dan fisik) berada di bagian barat pulau ternate, tepatnya berada di Kelurahan Togafo. Kerentanan sosial diukur berdasarkan kondisi sosial yang ada di kelurahan tofago dengan parameter yaitu kondisi demografi, pendidikan dan pengetahuan, kelembagaan, kesehatan, dan pengaman sosial. Kerentanan ekonomi diukur berdasarkan kondisi ekonomi masyarakat di Kelurahan Togafo dengan menggunakan parameter mata pencaharian utama masyarakat, keberadaan lembaga perekonomian dan aktivitas ekonomi wilayah. Kerentanan fisik dilihat dari kondisi fisik di Kelurahan Togafo yang meliputi parameter seperti rasio kawasan terbangun terhadap luas wilayah, jaringan jalan, jaringan listrik, dan jaringan telekomunikasi. Kombinasi dari tiga ragam kerentanan kemudian menyebabkan masyarakat di Kelurahan Togafo memiliki risiko yang sangat tinggi untuk terpapar bahaya erupsi gunungapi gamalama.
Dengan adanya risiko tinggi ancaman gunungapi gamalama di Kelurahan Togafo, maka Pemerintah lokal memfasilitasi upaya pengembangan desa tangguh bencana. Dalam Upaya ini Badan Penaggulangan Bencana Daerah (BPBD) memfasilitasi Pemerintah Kelurahan Togafo dan masyarakatnya untuk menyusun rencana strategi untuk menghadapi ancaman bencana yang ada di lingkungan mereka. Melalui pelibatan masyarakat dalam perencanaan, diharapkan nantinya masyarakat dapat memahami tindakan-tindakan yang harus dillakukan untuk mengurangi potensi risiko bencana. Selain itu rencana-rencana yang dirumuskan bersama pemerintah lokal dan masyarakat diharapkan dapat mendorong kemandirian Kelurahan Togafo dalam upaya pengurangan risiko.
Namun Walaupun upaya pengembangan yang dilakukan mulai dari pembentukkan Forum Masyarakat Siaga Bencana (Formasi-B), pembentukkan Kelompok Siaga Bencana (KSB) hingga perencanaan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana gunungapi, fakta tentang tidak adanya keberlanjutan upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan oleh komunitas tidak dapat dielakkan. Formasi-B yang sejatinya merupakan wadah yang menyatukan unsur-unsur organisasi kelompok pemangku kepentingan di kelurahan togafo yang berkemauan untuk mendukung upaya-upaya pengurangan risiko bencana di lingkungan mereka tidak pernah difungsikan, rencana aksi komunitas yang telah disusun belum pernah diimplementasikan, rencana kontinjensi bencana gunung api gamalama tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat.
Selain itu perencanaan untuk menghadapi bencana belum dapat melibatkan kelompok rentan seperti kelompok orang lanjut usia, penyandang disabililitas, anak-anak dan ibu hamil. Padahal seharusnya hal ini menjadi tujuan khusus dari pengembangan desa tangguh bencana sesuai dengan Perka. BNPB Nomor 1 Tahun 2012 untuk meningkatkan peran serta, khususnya kelompok rentan dalam pengembangan sumberdaya dalam rangka mengurangi risiko bencana. Seharusnya kelompok ini menjadi prioritas dalam upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap bencana. Sehingga diharapkan nantinya akan dapat membentuk tindakan dan kesadaran mereka dalam merespon bencana untuk mengurangi potensi kehilangan nyawa, luka-luka, dan kerugian harta bencana pada mereka.
Selain itu hasil perencanaan yang dirumuskan bersama antara masyarakat dan faslititator belum diikuti dengan tindak lanjut dari pemerintah lokal maupun organisasi masyarakat setempat. Hal ini dapat diketahui dari informasi awal yang dikumpulkan bahwa belum adanya kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana yang dilakukan oleh Komunitas Togafo dan belum adanya kegiatan peningkatan kapasitas (pelatihan) yang diberikan oleh pemerintah local, baik BPBD Kota Ternate maupun BPBD Provinsi dan instansi terkait lainya kepada relawan bencana maupun masyarakat untuk melatih kemampuan dalam menghadapi keadaan darurat di lingkungan mereka. Hal ini belum sesuai dengan amanah dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 pasal 26 ayat 7 huruf (b) bahwa setiap orang berhak mendapatkan Pendidikan, pelatihan keterampilan dalam penyelenggaraan penaggulangan bencana.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah model perencanaan strategis yang deliberatif yang dapat menjamin keterlibatan kelompok rentan maupun pihak lain yang dapat memberikan pengaruh kebijakan terhadap upaya pengurangan risiko bencana di Kelurahan Togafo. Selain itu diharapkan perencanaan dengan model deliberatif dapat mewujudkan deliberasi melalui diskursus publik diantara partisipan terkait upaya untuk mengurangi risiko. Partisipasi warga dalam deliberasi diharapkan dapat memberikan pembelajaran sosial (social learning); melatih warga untuk meningkatkan kapasitas demokrasi; serta dapat menjadi wadah untuk melatih berpikir dan bertindak strategis untuk menghadapi ancaman bencana yang dapat terjadi kapan saja di lingkungan mereka.
Dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka perlu dilakukan analisis terhadap model perencanaan strategis untuk menghadapi ancaman bencana di Kelurahan Togafo yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat serta stakeholders lainya dalam rangka pengembangan desa tangguh bencana. Oleh karena itu akan dibahas lebih dalam lagi dalam tesis ini yang berjudul “Analisis Model Perencanaan Strategis Deliberatif Untuk Pengembangan Desa Tangguh Bencana (Studi Pada Kelurahan Togafo Kecamatan Ternate Barat Kota Ternate Dan BPBD Kota Ternate)“.
202372 | TES 658.40 IDR a 2023 k.1 | Fadel Muhammad Resource Center (Ilmu Terapan) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain