Texts
Partisipasi Politik Perempuan Pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018 Dan Pemilihan Legislatif Tahun 2019 Di Kabupaten Bojonegoro
Latar belakang penelitian ini adalah adanya kesenjangan gender di
kehidupan publik maupun politik merupakan sebuah tantangan global yang terus
dihadapi oleh masyarakat pada abad ke-21. Di level internasional maupun
nasional telah membuat berbagai konvensi kebijakan, misalnya: Convention on
Political Rights for Women dan Convention on the Elimination of all Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW), Beijing Declaration and Platform for
Action, serta di Indonesia sendiri dibuatlah Kebijakan Afirmatif (Affirmative Action).
Affirmative Action bukanlah hal baru, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum hingga berlakunya undang-undang yang
baru yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal
173 ayat (2) huruf e mengenai kuota 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan sebagai salah satu syarat wajib untuk menjadi peserta pada Pileg
serentak tahun 2019. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 diharapkan
keterwakilan perempuan tercapai hingga 30% dengan penguatan melalui
kepengurusan partai politik baik di tingkkat pusat maupun daerah. Minimnya
jumlah perempuan yang berkiprah dalam dunia politik menjadi kendala besar bagi
terwujudnya Amanah Undang-Undang mengenai kuota 30%, selain itu, isu-isu dan
permasalahan yang rentan terjadi pada perempuan sulit mendapatkan
perlindungan maupun payung hukum karena terbatasnya suara perempuan dalam
proses pembuatan kebijakan. Pemilihan Legislatif (Pileg) di Indonesia tahun 1955-
2004, rata-rata perempuan yang terpilih menjadi anggota Legislatif adalah 9,58%,
dan pada tahun 2009-2019 rata-rata perempuan yang terpilih sebanyak 18,22%.
Di Kabupaten Bojonegoro sendiri, pada periode 2014 sebanyak 14% perempuan
yang terpilih menjadi anggota Legislatif, sedangkan pada periode 2019 turun
menjadi 10% atau 5 perempuan Legislatif yang terpilih. Selain Pemilihan Legislatif,
pada 2018, Bojonegoro juga mengikuti Pilkada serentak, dari 171 daerah di
Indonesia yang menghasilkan 14 perempuan Kepala Daerah terpilih, salah
satunya adalah Kabupaten Bojonegoro. Bupati Anna Mu’awanah menjadi bupati
pertama sejak periode Hindia-Belanda, Penjajahan Jepang, sampai Republik
Indonesia tahun 1945-2018. Hal ini yang sangat menarik untuk dikaji, mengapa
baru pada periode 2018 Kabupaten Bojonegoro memiliki pemimpin perempuan,
padahal terpilihnya Kepala Daerah perempuan sudah terjadi di darah-daerah
sekitar Bojonegoro jauh sebelum periode 2018.
Penulisan Tesis dengan judul ”Hambatan Partisipasi Politik Perempuan
pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018 dan Pemilihan Legislatif Tahun 2019
di Kabupaten Bojonegoro” merupakan sebuah studi dengan kajian khusus
terhadap partisipasi politik perempuan dalam proses Pilkada dan Pileg di
Bojonegoro. Rumusan masalah dalam penelitian ini: Bagaimana partisipasi politik
perempuan pada Pilkada 2018 dan Pileg 2019 di Kabupaten Bojonegoro?; Apakah
faktor yang menghambat partisipasi politik perempuan pada Pilkada 2018 dan
Pileg 2019 di Kabupaten Bojonegoro?. Tujuan penelitian ini: Untuk mengetahui
gambaran partisipasi politik perempuan pada Pilkada 2018 dan Pileg 2019 di
vi
Kabupaten Bojonegoro; Untuk mendeskripsikan dan menganalisis faktor
penghambat partisipasi politik perempuan pada Pilkada 2018 dan Pileg 2019 di
Kabupaten Bojonegoro.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara,
observasi, dan studi dokumen serta menggunakan analisa data kualitatif model
interaktif (Miles, Huberman, and Saldana, 2014).
Hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa partisipasi politik
perempuan pada Pilkada 2018 dan Pileg 2019 dianalisan berdasarkan teori
partisipasi politik perempuan Naqiya, bahwa akses partisipasi perempuan
menunjukkan adanya peningkatan pada partisipasi kehadiran masyarakat
perempuan di TPS yaitu 83% yang mana periode sebelumnya adalah 69%. Pada
partai politik sendiri, meskipun akses rekruitmen telah dipermudah dapat dibuka
melalui online tetapi masih banyak masyarakat yang belum mengetahuinya.
Secara mandiri, masyarakat yang tergabung dalam aktivis perempuan kabupaten
Bojonegoro membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pengarus Utamaan Gender
(PUG) yang rutin menggelar acara rapat koordinasi (rakor) dalam upaya sebagai
kontrol pemerintah dan dalam meningkatkan kapasitas penguatan kelembagaan
untuk mengoptimalissi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender yang
dilakukan Bersama OPD. Suara perempuan dalam proses pembuatan kebijakan
selama ini difasilitasi oleh Pemerintah Daerah melalui Musrenbang. Selain
Musrenbang, masyarakat perempuan juga berinisiatif meembentuk program
Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Unggulan (PEREMPUAN) yang mana
organisasi ini beberapa kali memberikan sumbangan untuk kebijakan Pemerintah
Daerah dalam hal keadilan dan kesetaraan gender.
Faktor-faktor yang menghambat partisipasi politik perempuan pada
Pilkada 2018 dan Pileg 2019 berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat
tiga faktor utama, yaitu: Pertama, perempuan Bojonegoro terjerat dalam kultur
patriarki yang begitu kuat dalam kehidupan sehari-hari. Kultur patriarki ini meliputi:
kultur budaya yang masih sangat kental memposisikan perempuan menjadi
second class, keluarga yang tidak memeberikan dukungan, pendidikan
perempuan yang masih sangat rendah disbanding laki-laki, keterbatasan ekonomi
perempuan karena mayoritas tidak berkerja dan yang bekerja di sektor riil 39,07%
perempuan memiliki kesenjangan gaji yang signifikan dari laki-laki. Kedua, doktrin
agama yang masih konservatif dinilai terlalu mengekang kebebasan perempuan
di ranah publik apalagi politik. Penilaian konservatif ini berasal baik dari diri
perempuan sendiri yang membelenggu dirinya harus berada dibawah kendali lakilaki maupun dari peran lokal atau tokoh lokal yang mengajarkan paham agama
berdasarkan tafsiran mutlak yang mengatakan laki-laki adalah imam dari
perempuan dalam segala aspek. Ketiga, hegemoni negara yang hingga kini masih
dipandang sebagai negara kaum laki-laki. Pandangan patrilineal ini disebabkan
oleh aturan partai politik yang selama ini pro terhadap kaum laki-laki, sosialisasi
atau pengarahan yang selama ini dilakukan pada kalangan-kalangan tertentu
padahal mayoritas masyarakat perempuan tinggal di desa-desa kecil, serta
pandangan perempuan terhadap politik yang masih sangat apatis.
202322 | TES 324.6 NUR p 2022 k.1 | Fadel Muhammad Resource Center (Ilmu Sosial) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain