Texts
PELAYANAN PUBLIK PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF COLLABORATIVE GOVERNANCE DI KOTA TIDORE KEPULAUAN
RINGKASAN
Hadijah A. Rajak. Program Doktor Ilmu Administrasi Minat Adminisrasi
Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang, 2024,
“PELAYANAN PUBLIK PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN DALAM PRESPEKTIF COLLABORATIVE GOVERNANCE DI
KOTA TIDORE KEPULAUAN , Promotor: Prof. Dr. Sjamsiar Sjamsuddin; KoPromotor 1: Dr. Choirul Saleh, Drs., M.Si.; Wike, S.Sos., M.Si., DPA.
Pelayanan publik di Indonesia yang masih belum dapat memberikan
kepuasan bagi warga negaranya menjadi isu sentral pada dekade ini. Tuntutan
masyarakat, memaksa institusi pemerintah, swasta, maupun lembaga-lembaga
masyarakat untuk melakukan perbaikan dalam penyelenggaraan pelayanan publik
yang berkualitas. Hal ini sejalan dengan persoalan yang mendapat perhatian
serius dari gerakan hak asasi manusia sejak era reformasi hingga kini adalah
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), khususnya kekerasan yang dilakukan
suami terhadap istri dan yang dilakukan orang tua terhadap anak.
Sehubungan dengan kecenderungan meningkatnya kasus Kekerasan
terhadap Perempuan di berbagai daerah, termasuk yang setiap tahun meningkat
sekitar 70%, pemerintah membentuk PPTP2A (Pusat Pelayanan Terpadu
Perlindungan Perempuan dan Anak). Namun pengadaan layanan cenderung
terbatas dan measih menghadapi berbagai kendala sehingga dibutuhkan analisis
mengenai tata kelola kolaboratif yang efektif untuk menyelesaikan kendala
efektifitas layanan pada P2TP2A.
Kajian teoritik dalam penelitian menggunakan Collaborative Governance
merujuk pada teori Anshel dan Gash (2008). Collaborative Governance yang
dikemukakan oleh Ansell dan Gash (2008) mengajukan empat komponen utama
dalam tahapan kolaborasi yaitu starting condition (kondisi awal), institutional
design (desain institusi), leadership (kepemimpinan), and collaborative process
(proses kolaborasi). Masing-masing komponen ini memiliki unsur subbagian yang
lebih kecil. Komponen proses kolaboratif dijadikan sebagai inti dari model,
dengan kondisi awal, desain institusional, dan variabel kepemimpinan yang
memilki kontribusi penting untuk keseluruhan proses kolaboratif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif serta teknik
penarikan informan secara purposive sampling melalui tahapan analisa data
collection, condensation, display, conclusions: drawing/verifying adalah untuk
menjawab empat rumusan masalah dalam penelitian ini
Penelitian ini menghasilkan empat simpulan. Pertama, proses pelayanan
terpadu yang dilaksanakan oleh P2TP2A lebih terfokus pada pelayanan
pengaduan, perlindungan, dan pendampingan terhadap korban kekerasan
daripada pada tindakan preventif pencegahan tindak kekerasan. Proses yang
dilakukan di P2TP2A masih sebatas pada perlindungan selama tahapan proses
pelayanan dan sedikit pada pra kejadian dan pasca pendampingan. Kedua,
terdapat tiga unsur penting yang terlibat dalam pelayanan tindak kekerasan
terhadap perempuan yaitu pemerintah, LSM, dan masyarakat. Diketahui peran
masing-masing aktor cenderung berjalan sendiri-sendiri dan belum sepenuhnya
menerapkan sinergitas dan Collaborative Governance yang efektif. Selain itu
belum dibuka ruang bagi keterlibatan pihak swasta dalam penyediaan dukungan
sumberdaya dan pendanaan. Ketiga, terdapat faktor pendukung seperti sumber
daya manusia keterliabatan masyarakat (modal sosial) dan faktor penghambat
yang terdiri atas sumber daya pendanaan dan fasilitas serta kendala sinergitas.
Keempat, Model Collaborative Governance yang direkomendasikan dalam
penelitian ini menekankan pada peninjauan starting condition pembentukan
layanan melalui musyawarah yang melibatkan pemangku kepentingan eksternal,
Kemudian penguatan proses kolaborasi melalui desain kelembagaan yang
inklusif melalui networking system berbasis digital. Serta pola kepemimpinan
kolaboratif juga diperkuat dengan menekankan pada shared-leadership
facilitation yang memberikan kewenangan pada seluruh pemangku kepentingan
dalam pengambilan keputusan secara konsensus.
Berdasarkan hasil penelitian maka peneliti mengajukan beberapa saran.
Pertama Pelayanan P2TP2A tidak hanya terfokus pada pelayanan pengaduan,
perlindungan, dan pendampingan tetapi juga pada pra kejadian untuk tindakan
preventif. Kedua, melalui P2TP2A perlu memberikan investasi yang memadai
terhadap sumber daya khususnya pada struktur pendanaan dan pengadaan
fasilitas yang memadai. Oleh karena itu pemerintah dapat bekerja sama dengan
pihak swasta dalam mekanisme pendanaan melalui skema pendanaa seperti
CSR. Selain itu perlu ada penguatan kelembagaan dalam hal sinergitas dan
koordinasi. Ketiga, model Rekomendasi Collaborative Governance berorientasi
pada upaya pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan melalui basis
pelibatan komunitas masyarakat lokal di tingkat desa yang diatur dalam kerangka
(framework) desain kelembagaan yang menghadirkan forum eksekutif sebagai
controlling actor pada evaluasi layanan yang didukung oleh ketersediaan sistem
informasi digital sebagai basis data untuk transparansi dan keterbukaan proses
layanan. proses kolaborasi tersebut didukung oleh kepemimpinan sharedleadership facilitation bersifat distributif dan merata antar pemangku kepentingan
dalam pengambilan keputusan melalui diskusi untuk mencapai konsensus.
Kata kunci: Pelayanan terpadu, Penanganan kekerasan terhadap perempuan,
Collaborative Governance.
SUMMARY
Hadija A. Rajak. Doctoral Program in Administrative Sciences Interested in Public
Administration, Faculty of Administrative Sciences, Brawijaya University, Malang,
2024, "PUBLIC SERVICES HANDLING CASES OF VIOLENCE AGAINST
WOMEN IN A COLLABORATIVE GOVERNANCE PERSPECTIVE, Promoter:
Prof. Dr. Sjamsiar Sjamsuddin; Co-Promoter 1: Dr. Choirul Saleh, Drs., M.Si.;
Wike, S. Sos., M.Sc., DPA.
Public services in Indonesia, which are still unable to provide satisfaction
for its citizens, have become a central issue in this decade. Community demands
force government, private, and community institutions to make improvements in
the delivery of quality public services. This is in line with domestic violence
(KDRT), particularly violence committed by husbands against wives and by
parents against children, which has received serious attention from the human
rights movement since the reform era until now.
In connection with the trend of increasing cases of violence against
women and children in various regions, including, which increases by around
70% every year, government formed PPTP2A (Integrated Service Center for the
Protection of Women and Children). However, service procurement tends to be
limited and still faces various obstacles, so an analysis of effective collaborative
governance is needed to resolve obstacles to service effectiveness at P2TP2A
Theoretical studies in research using collaborative governance refer to
the theory of Anshel and Gash (2008). Collaborative governance, proposed by
Ansell and Gash (2008), proposes four main components in the collaboration
stage: starting conditions, institutional design, leadership, and collaborative
process. Each of these components has smaller subsection elements. The
collaborative process components serve as the core of the model, with initial
conditions, institutional design, and leadership variables having important
contributions to the overall collaborative process.
The research uses a qualitative descriptive approach and purposive sampling of
informants through the stages of data collection, condensation, display,
conclusion, and drawing/verifying analysis to answer the four problem
formulations in this research.
The research draws four conclusions. First, the integrated service process
implemented by P2TP2A more focused on complaint services, protection, and
assistance to victims of violence than on preventive measures to prevent acts of
violence. The process carried out at PPTP2A is still limited to protection during
the service process stages and a little during pre-incident and post-assistance.
Second, there are three important elements involved in providing services for
violence against women, namely the government, NGOs, and the community. It
is known that the roles of each actor tend to run independently and that they
have not yet fully implemented effective synergy and collaborative governance.
Apart from that, there is no room yet for the involvement of the private sector in
providing resource and funding support. Third, there are supporting factors such
as human resources, community involvement (social capital), and inhibiting
factors consisting of funding resources and facilities, as well as synergy
constraints. Fourth, the collaborative governance model recommended in this
research emphasizes reviewing the starting conditions for service formation
through deliberation involving external stakeholders, then strengthening the
collaboration process through inclusive institutional design through digital-based
networking systems. And the collaborative leadership pattern is also
strengthened by emphasizing shared-leadership facilitation, which gives authority
to all stakeholders in making decisions by consensus.
Based on the research results, the researchers put forward several
suggestions. Firstly, P2TP2A services are not only focused on complaints,
protection, and assistance services but also on pre-incident preventive action.
Second, Government, through P2TP2A, needs to provide adequate investment in
resources, especially in the funding structure and provision of adequate facilities.
Therefore, the government can collaborate with the private sector in funding
mechanisms through schemes such as CSR. Apart from that, there needs to be
institutional strengthening in terms of synergy and coordination. Third, the
collaborative governance recommendation model is oriented towards efforts to
prevent acts of violence against women through the involvement of local
communities at the village level, which is regulated in an institutional design
framework that presents an executive forum as a controlling actor in service
evaluation.
Keywords: Integrated services, Handling violence against women,
Collaborative Governance
20244 | DIS 362,83 RAJ p 2024 K1 | Fadel Muhammad Resource Center (Ilmu Sosial) | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - No Loan |
Tidak tersedia versi lain